Tiga Kampung Rohingya di Belakang Markas Militer SITTWE

MISI KEMANUSIAAN KE ARAKAN (RAKHINE STATE) BURMA

Bagian 5

Agus Hasan Bashori

Sunrise dan kabut

Pagi itu, Kamis 2 Maret 2017, suasana kota Sittwe dipenuhi oleh kabut. Setelah shalat subuh dan wirid, kita menikmati udara sejuk dan pekatnya kabut putih memenuhi ruang kota.

Ini suasana jam 7 pagi waktu setempat

Kami membuka jendela, melihat burung-burung yang terbang ke sana kemari, sambil berkicau bersahutan. Bahkan burung gagak, merpati bertengger berjajar di kabel listrik seperti foto di bawah ini:

Kemudian kami menanti terbitnya sang mentari dari arah dermaga Sittwe. Sedikit demi sedikit sinar mentari menyeruak ke angkasa lalu memenuhi ruang bumi dan diikuti oleh sembulan bulatan matahari yang memerah indah.

Setelah selesai menikmati mentari pagi kita lanjut dengan sarapan pagi dan persiapan untuk menjalankan misi.

Tiga Kampung Rohingya di Belakang Markas Militer SITTWE

Mobil penjemput datang, kami langsung masuk dan berangkat. Kami melewati jalan utama Sittwe setelah melintasi gerbang kota yang di sebelah kanan berderet panjang markas militer, di tengah-tengah antara barak militer itu belok ke kanan, ada satu jalan aspal yang bagus. Kita bertanya-tanya, mengapa masuk daerah militer? Sang sopir yang tidak pandai berbahasa Inggris itupun member isyarat pukulan berkali-kali untuk menerangkat tempat itu. masing-masing kita tidap faham, ada yang menebak itu maksudnya tempat melatih anjing, ada yang memahami itu tempat memukul orang dll. Ternyata beberapa saat kemudian kita melewati lapangan mungil yang indah, tempat permainan golf. Maka kami pun faham bahwa maksudnya adalah lapangan golf. Kamipun lega dan tertawa.

Namun tidak lama setelah itu kita memasuki jalan desa yang buruk, lalu putus jembatan dan kita melewati sawah lalu kembali ke jalan desa. Ternyata desa-desa yang kita tuju ada di balik markas militer Burma Sittwe.

Supir sempat salah jalan, dia berjalan lurus menuju desa Budha, setelah menelpon Hasyim baru dia kembali dan berbelok kanan. Suasana desa yang kering dan berdebu lebat itu lengang. Baru setelah mobil kami lewat dan sempat berhenti karena jembatan sempit dan terlalu tinggi untuk mobil maka terlihat anak-anak dan penduduk keluar.

Di sana kita bertemu dengan rombongan mobil Hasyim. Setelah beriringan di sawah-sawah sampailah kita ke desa yang dituju.

Desa pertama; Ko Souny 1

Yang pertama kali menarik perhatian adalah lapangan sepak bola yang berada di luar desa. Sesudah apapun manusia hidup ternyata anak-anak tetap memerlukan ruang untuk bermain. Lapangan mereka itu adalah sawah terdiri dari 3 petak sawah yang berarti di tengah lapangan itu ada gundukan pematang sawah, sudah begitu ada bagian yang becek. Kami hanya bisa membayangkan alangkan cerianya mereka saat main bola di tempat seperti itu.

Lalu kami terus berjalan menuju desa Ko Sony 1. Kami disambut oleh penduduk desa yang sudah berkumpul untuk menukarkan kupon dengan selimut dan sembako.

Begitu kami menginjakkan kaki di desa itu kami mendapatkan sumur, tempat ngaji dari bammu dengan karpet tipis hijau. Kemudian 30 meter berikutnya ada masjid kuno dan ada sumur di halamannya.

Saat saya melongok ke dalam sumur saya lihat airnya berwarna coklat kotor, saya tenya kepada Hasyim dan bapak-bapak serta ibu-ibu yang berada di situ: “Ini air bersih? Mereka menjawab “Iya. Saya Tanya lagi, “Ini untuk minum?” Mereka menjawab? “Ya, dan untuk apa saja.” Dalam hati saya tidak percaya, masak sih ini untuk mereka? Tidak lama kemudian datanglah anak laki-laki dari main-main langusung menuju sumur, menimba air dan “gluk gluk gluk” langsung air sumur itu diteguk dengan lahap seperti ini:

Saat mengetahui bahwa kami foto, dia merasa heran, dengan menahan air dalam mulutnya, dia memandangi kami dengan 1000 tanda tanya. Setelah itu dia menelan air itu dan meletakkan timba lalu pergi. Kini kami yakin bahwa air itu memang air bersih versi mereka. Subhanallah. Tanpa terasa meleleh air mata ini, memiikirkan keprihatinan mereka.

Selain sumur seperti ini, penduduk desa ini dan desa sebelahnya juga bisa mengambil air bersih dari blumbang seperti ini:

Akhirnya pembagian sembako dimulai. Sembako dan selimut di tata, masyarakat dibaris, kupon ditukarkan dan mereka cap jempol. Di desa itu ada 65 KK 278 jiwa. Masing-masing KK mendapatkan: Sembako (beras, gula, minyak, jagung) dan selimut.

Setelah selesai pembagian saya menyuruh Abu Syifa untuk melihat apa yang mereka lakukan setelah itu di rumah. Maka Abu Syifa melaporkan bahwa mereka langsung menakar dan membagi beras itu, dengan wajah yang ceria, seperti ini:

Sayapun ikut keliling kampong, ternyata termasuk satu rumah bagi mereka adalah satu kandang sebagai berikut:

Tahukah anda isinya? Seperti ini:

Desa Ko Sony 2 (Kramat Fara)

Setelah itu kita naik mobil lalu turun di desa Ko Sonu 2. Begitu mobil berhenti kita sudah disambut oleh anak-anak yang dekil dan berdebu, bahkan ada yang telanjang bulat, tidak punya apa-apa. Kami sangat senang mengajak mereka berkumpul di jalan setapak masuk desa yang di sampinya adalah sawah kering seperti dalam gambar di bawah ini.

Namun rasa gembira tiba-tiba menciut setelah kami menginjak kotoran manusia di sana sini dan bau yang menusuk. Maka kamipun tidak melanjutkan kumpul dengan mereka. Kami langsung ke desa yang rumah-rumahnya semacam ini:

Setelah itu kamipun segera menata sembako untuk 75 KK dengan 490 jiwa, di depan masjid.

Setiap KK mendapatkan seperti ini:

Merekapun membawa pulang dengan gembira.

Dan kami pun berpamitan dengan anak-anak muslim yang sangat suka dengan kedatangan kami:

Lalu bagaimana dengan desa ketiga? Dan apa yang terjadi berikutnya? Ikuti lanjutannya hanya di majalah al-Umm.

Maka jangan lupa salurkan infak Anda melalui al-Umm/YBM Peduli. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *