Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ma’asyiral Muslimin, jamaah Jum’at Rahimakumullah,
Pada khutbah terdahulu sudah kami sampaikan tentang ”Keutamaan Doa, Adab dan Syaratnya”. Untuk melengkapi pembahasan itu, maka kali ini kami lanjutkan dengan menyajikan ”Saat-Saat Terkabulnya Doa”, agar doa kita semakin mantap.
Berdoa dianjurkan kapan saja, tetapi Allah menyediakan waktu-waktu istimewa untuk berdoa. Kapan?
Pertama, waktu sepertiga malam terakhir, ketika orang lain terlelap dalam tidurnya. Allah berfirman:
كَانُوا۟ قَلِيلًا مِّنَ ٱلَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
”Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz-Dzariyat: 17-18)
Rasulullah – Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَىٰ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَىٰ السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَىٰ ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، فَيَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ
”Tuhan kita turun di setiap malam ke langit dunia (yang terendah), yaitu saat sepertiga malam terakhir, maka Dia berfirman: Siapa ynag berdoa kepada-Ku maka Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku berikan kepadanya, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku maka Aku ampunkan untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, waktu antara adzan dan iqamat, saat menunggu shalat berjamaah. Berdasarkan hadits Anas bin Malik , bahwa Rasulullah bersabda:
الدَّعْوَةُ لا تُرَدُّ بَيْنَ الأَذانِ والإقامَةِ فَادْعُوا
”Doa itu tidak ditolak antara adzan dan iqamat, maka berdoalah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Arnauth)
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Amr ibnul Ash , bahwa ada seorang laki-laki berkata: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya para muadzin itu telah mengungguli kita,” maka Rasulullah bersabda, ”Ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh para muadzin itu, dan jika kamu sudah selesai (menjawab) maka memohonlah, kamu pasti diberi.” (HR. Abu Dawud, dan Ibnu Hibban; dihasankan oleh al-Arnauth dan Syekh al-Albani)
Tetapi sayang, waktu yang mustajab ini sering disalahgunakan oleh sebagian kita, umat Islam, yang kurang memahami sunnah atau orang yang kurang menghargai sunnah, sehingga diisi dengan hal-hal yang tidak baik dan tidak dianjurkan oleh Islam, seperti membicarakan urusan dunia, atau hal lain yang tidak bernilai ibadah.
Ketiga, pada waktu sujud. Yaitu sujud dalam shalat atau sujud-sujud lain yang diajarkan oleh Islam, seperti: sujud syukur, sujud tilawah, dan sujud sahwi. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
”Keberadaan hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim)
Juga hadits Ibnu Abbas (dalam hadits yang agak panjang), Rasulullah bersabda: ”…ingatlah, bahwa aku dilarang untuk membaca al-Qur’an ketika ruku’ dan sujud. Adapun di dalam ruku’ maka agungkanlah Allah, dan adapun di dalam sujud maka giat-giatlah berdoa, sebab (hal itu) pantas dikabulkan bagi kalian.” (HR. Muslim)
Karena itu, shalatlah yang khusu’ agar sempat berdoa.
Keempat, setelah shalat fardhu, yaitu setelah melaksanakan shalat-shalat wajib yang 5 waktu, termasuk sehabis shalat Jum’at. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَٰرَ ٱلسُّجُودِ
”Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari, dan setiap selesai sembahyang.” (QS. Qaf: 40)
Juga berdasarkan hadits Umamah al-Bahili Radiallahuanhu ia berkata:
قِيلَ لرَسُولَ الله أَيُّ الدُّعَاءِ أسْمَعُ؟ قالَ: جَوْف اللَّيْلِ الآخِرُ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ
”Rasulullah ditanya tentang doa apa yang paling didengar (oleh Allah), maka beliau bersabda: ”Tengah malam terakhir dan setelah shalat-shalat yang diwajibkan.” (HR. At-Turmudzi, ia berkata hadits ini hasan)
Karena itu Imam Syafi’i dan para pengikutnya berkata, ”Dianjurkan bagi imam dan makmumnya serta orang-orang yang shalat sendirian memperbanyak dzikir, wirid, dan doa setelah selesai shalat fardhu. Dan dianjurkan membaca dengan pelan (sirri), kecuali jika makmum belum mengerti maka imam boleh mengeraskan agar makmum menirukan. Setelah mereka mengerti maka semua kembali pada hukum semula, yaitu sirri (samar-samar).” Demikian keterangan Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab, III/487.
Kelima, waktu-waktu khusus, tetapi tidak diketahui dengan pasti batasan-batasannya, yaitu sesaat di setiap malam dan sesaat setiap hari Jum’at. Hal ini berdasarkan hadits Jabir ia berkata, saya mendengar Rasulullah bersabda:
إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً، لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ الله خَيْراً مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَذٰلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
”Sesungguhnya di malam hari ada satu saat (yang mustajab), tidak ada seorang muslim pun yang bertepatan pada waktu itu meminta kepada Allah kebaikan urusan dunia dan akherat melainkan Allah pasti memberi kepadanya, hal itu ada setiap malam.” (HR. Muslim (1720))
Hadits Abu Hurairah :
أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَكرَ يومَ الجمعةِ فقال: «فيه ساعةٌ لا يُوافِقُها عبدٌ مُسلمٌ وَهوَ قائمٌ يُصلِّي يَسأَلُ اللهَ تعالى شيئاً إلا أَعطاهُ إِيّاهُ» وَأَشارَ بيدِهِ يُقلِّلها
”Bahwa Rasulullah pernah menyebut hari Jum’at, beliau bersabda: ”Di dalamnya ada satu saat (yang mustajab), tidaklah seorang hamba muslim yang kebetulan waktu itu sedang mendirikan shalat (atau menunggu shalat) dan memohon kepada Allah sesuatu (hajat) melainkan Allah pasti mengabulkan permohonannya.” Dan Nabi mengisyaratkan dengan tangannya akan sedikitnya saat mustajab itu.” (HR. Bukhari (923))
Di dalam hadits Muslim dan abu Dawud dijelaskan:
هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَىٰ أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ
”Yaitu waktu antara duduknya imam (khatib) sampai selesainya shalat (Jum’at).” Inilah riwayat yang paling shahih dalam hal ini. Sedangkan dalam hadits Abu Dawud yang lain Nabi memerintahkan agar kita mencarinya di dalam waktu ashar.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama berselisih dalam menentukan saat ijabah ini menjadi sebelas pendapat.
Imam Ahmad berkata: ”Kebanyakan ahli hadits menyatakan saat itu adalah setelah ashar dan diharapkan setelah tergelincirnya matahari.”
Sedangkan Imam Ibnu Qoyyim menjadikannya sebagai dua waktu ijabah yang berlainan. Dalam kitab al-Jawabul Kafi beliau menjelaskan: jika doa itu disertai dengan hadirnya qalbu dan totalitasnya dalam berkonsentrasi terhadap apa yang diminta, dan bertepatan dengan salah satu dari waktu-waktu ijabah yang enam itu, yaitu: (1) sepertiga malam terakhir, (2) ketika sujud, (3) waktu antara adzan dan iqamat, (4) setelah shalat-shalat fardhu, (5) ketika imam naik ke atas mimbar pada hari Jum’at sampai selesainya shalat Jum’at, dan (6) waktu terakhir setelah ashar. Kemudian, jika doa tadi bertepatan dengan kekhusu’an hati, merendahkan diri di hadapan Sang Penguasa, menghadap kiblat, berada dalam kondisi suci dari hadats, mengangkat kedua tangan, memulai dengan tahmid (puji-pujian), kemudian membaca shalawat atas Nabi , lalu bertobat dan beristighfar sebelum menyebutkan hajat, kemudian menghadap Allah dengan bersungguh-sungguh dalam memohon dengan penuh kefakiran, dibarengi dengan rasa harap dan cemas, dan bertawassul dengan asma dan sifat-Nya, serta mentauhidkan-Nya, lalu ia dahului doanya itu dengan sedekah, maka doa seperti ini hampir tidak tertolak selamanya. Apalagi jika memakai doa-doa yang dikabarkan Nabi sebagai doa yang mustajab atau yang mengandung al-Ismul A’zham (Nama Allah yang paling Agung).
Demikian keterangan Ibnul Qoyyum tentang adab berdoa, tata cara, dan saat-saat ijabah secara lengkap, sekaligus kesimpulan dan kriteria agar doa kita dikabulkan Allah .
Semoga Allah mengabulkan doa-doa kita. Amin. [*]
Sumber Rujukan:
Al-Jawabul Kafi, Ibnul Qoyyum.
Majmu’, Imam Nawawi.
A’malul Muslim fil Yaumi wal Lailah, Syekh Muhammad Thariq Muhammad Shalih
Fathul Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani
dan lain-lain
Catatan:
Dikutip dari Buletin An-Nur edisi Tahun IV, No, 158/ Rajab 1419 H (tulisan Abu Hamzah Agus Hasan Bashori), ditulis kembali oleh M. Mujib Ansor, SH.