RESENSI BUKU WAJAH PERADABAN BARAT DARI HEGEMONI KRISTEN KE DOMINASI SEKULER LIBERAL

Barat yang dipimpin Amerika adalah kiblat, sebab Barat adalah pemenang perang dunia kedua dan yang mengatur dunia melalui PBB dan segala instrumennya. Namun sayang data dan analisa kritis tentang sosok Barat yang ditulis oleh umat Islam masih minim sehingga banyak umat Islam yang tertindas ini tertipu dan terpikat persis seperti kaedah yang ditetapkan oleh Ibnu Khaldun bahwa bangsa yang kalah cenderung membeo kepada bangsa yang menang.

Diantara buku bagus berbahasa Indonesia yang “pertama kali” memotret wajah Peradaban Barat dengan sangat lengkap adalah buku yang berjudul Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler Liberal”.

Penulis : Dr. Adian Husaini

Penerbit : Gema Insani Jakarta

Jumlah halaman : 450 halaman

Cover : hard cover

Tahun pertama terbit : 2005 M.

Kata pengantar : Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud.

Buku ini sangat menarik dan memiliki banyak kelebihan, karena:

  1. Penulis sangat objektif berdasarkan data dan fakta yang sangat akurat dan lengkap, sampai Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan bahwa kutipan penulis ini lebih teliti dari pelbagai sumber yang serius dan yang popular. Bahkan menurutnya, tidak ada buku berbahasa melayu yang menyamai ini di Indonesia, Malysia, Brunei dan Singapura.

  2. Penulis sangat menguasai masalah ini, sebab ia sudah mencurahkan perhatiannya lebih dari 20 tahun sejak tahun 1989.

  3. Penulis tampil sebagai pemikir muslim yang mengambil posisi pemikiran yang tidak popular di tengah arus utama cendekiawan yang cenderung membenarkan faham-faham yang kuat, meski faham yang kuat tersebut belum tentu benar.

  4. Penulis adalah seorang jurnalistik sehingga bahasa buku ini mudah dicerna oleh pembaca.

  5. Penulis buku ini seorang Doktor alumni ISTAC-IIUM yang dirintis oleh Prof. Naquib al-Attas yang pemikirannya banyak dituangkan oleh penulis di buku ini, sehingga disamping mudah dicerna ia mengandung unsur intelektualitas yang tinggi.

  6. Buku ini menjadi karya induk bagi pemikiran penulis soal Liberalisme, sehingga buku-buku penulis yang lain banyak diambil atau berangkat dari buku ini.

  7. Buku ini cukup komprehensif sebab dimuali dengan membahas akar peradaban Barat di Eropa dan kemudian di Amerika lalu dilanjutkan dengan fakta yang harus dihadapi Bangsa Indonesia dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu tesis penting yang dibahas dalam buku ini adalah “Konfrontasi Permanen” sebagai antitesis terhadap teori “Benturan Peradaban (The Clash of Civilizations)” dari Bernard Lewis yang kemudian disebarluaskan oleh Samuel P. Huntington. Konfontrasi ini disebabkan oleh adanya perbedaan mendasar antara pandangan hidup Islam dengan pandangan hidup Barat yang kafir, juga perbedaan bangunan peradaban yang diinginkan oleh masing-masing Islam dan Barat.

Menurut penulis, meskipun Barat sudah menjadi sekuler-liberal, namun sentiment-sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai kehidupan mereka. Jika dalam masa kolonialisme klasik mereka mengusung jargon “Gold, Gospel, dan Glory” maka di era modern ini kita mendapatkan invasi Amerika terhadap Irak tahun 2003 dan dukungannya kepada Israel tidak terlepas dari jargon tersebut.

Di masa klasik dulu seorang misionaris legendaries Henry Martyn menyatakan bahwa perang salib telah gagal karena itu menurutnya untuk menaklukkan dunia Islam dia mengajukan resep: gunakan “kata, logika dan cinta (kasih)”. Ucapan Henry Martyin ini diperhatikan oleh penulis dengan serius, dan dibuktikan korelasinya dengan perjuangan Barat berikutnya dalam memerangi dunia Islam hingga tergulingnya Khilafah Turki Utsmani karena kata “Freedom” dan “Liberalisme” yang digelindingkan. Kekuatan “kata” dan “kasih” menurut penulis terbukti sangat ampuh dalam menggulung kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan-ungkapan tidak simpatik seperti “ortodoks”, “beku”, “berorientasi masa lalu”, dan “emosional”.

Para orientalis Barat membangun seluruh kajiannya di antas prinsip bahwa Muhammad i bukanlah Rasulullah, al-Qur`an bukanlah Kitabullah. Bahkan Nabi Muhammad, Al-Qur`an dan ajarannya selalu menjadi sasaran kritik dan hujatan. Misalnya, Pastor Bede dari Inggris mengatakan bahwa Muhammad adalah manusia padang pasir yang liar, cinta perang, biadab, buta huruf, bodoh tentang dogma Kristen dan tamak kuasa.

Pada zaman pertengahan Barat, Rasululah disebut dengan Mahound, Mahoun, Mahun, Mahomet, dalam bahas Prancis Mahon, dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan, berhala. Pada zaman Renaisance Barat dan zaman Reformasi Barat, Marlowes Temburlaine menyebut al-Qur`an sebagai karya setan1. Martin Luther menyebut Muhammad sebagai orang jahat dan anak setan. Pada zaman pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstremis dan pendusta yang paling canggih. Walhasil Al-Qur`an dan Nabi Muhammad i menjadi sasaran kritik, hingga Snouck Hurgronje berkata: “Pada zaman skeptic kita ini, sangat sedikit sekali yang di atas kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada.” Subhanallah, harapan Hurgronje diwujudkan oleh Klimovich yang mengatakan bahwa Muhammad i hanyalah fiksi.

Demikian pula para Orientalis yang mengkaji teologi dan filsafat Islam sejak D.B. MacDonald, Alfred Gullimaune, Montgomery watt hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard I. McCarty, Harry A Wolfson, shlomo Pines dan lain-lain mempunyai kaca mata yang hampir sama. Semua mereka mengingkari tradisi intelektualitas Islam yang berbasis pada wahyu.

Hegemoni Barat dalam bidang keilmuan dan kajian keislaman, hingga di Indonesia diikuti tanpa kritik, ini yang menjadikan penulis merasa prihatin dan terpanggil untuk menulis buku ini demi menggugah Umat islam Indonesia dari bahaya yang mengancamnya. Menurut hemat penulis, bahwa mengetahui makar Barat akan sangat membantu dalam memahami problem yang muncul di kalangan umat Islam, yang memang banyak disebabkan oleh invasi peradaban Barta dalam peradaban dan pemikiran Islam.

Buku ini dibagi oleh penulis menjadi 15 bab yang dituangkan dalam tiga bagian, dan tiap bagian terdapat bab-bab. Bagian pertama diberi judul “Dari kebingungan menuju kematian” terdiri dari lima bab.

Bab pertama berjudul “Kebingungan Liberalisme: Proses Globalisasi Nilai-Nilai Dari Barat Ke Berbagai Peradaban Lain”. Ini sangat menarik karena dibalik sosok Barat yang katanya “humanis sekularis” itu didasari oleh rasa tidak percaya akan dirinya sendiri, segala sesuatu dianggap relatif sehingga dapat dikatakan Barat tidak mempunyai pegangan hidup. Akibat dari terlalu menganggap segala sesuatu hal adalah relatif sehingga antara kebenaran dan kesalahan menjadi bias dan tidak jelas. Terlihat dari banyaknya kasus moral yang terjadi di Barat dan bahkan lembaga keagamaan sekalipun terkena kasus moral ini, seperti merebaknya homoseks dan lesbian di kalangan gereja.

Selain itu, Barat juga melakukan kesetaraan gender yang berlebihan karena hal tersebut dibangun diatas pondasi yang tidak jelas dan rapuh tersebut. Maka dengan relativitas nilai seperti ini Barat telah masuk ke dalam lingkaran setan dan berada dalam kebingungan; zina dan pelacuran dianggap biasa, homoseksual dianggap normal, poligami dipandang sebagai kejahatan. Penulis merekomendasikan bahwa tidak ada jalan keluar dari lingkaran setan yang tiada berujung ini kecuali kembali kepada agama daan tidak mengikuti langkah-langkah setan yang terkutuk. Jika tidak kembali kepada agama bagaimana? Penulis menegaskan bahwa nasib akhir lingkaran setan adalah kematian alias kehancuran.

Bab kedua diberi judul Mengapa Barat menjadi Sekular Liberal? Melacak Proses Berubahnya Barat-Kristen Menjadi Barat Sekuler-Liberal . Ini juga sangat baik untuk diketahui karena ini dapat menjadi pelajaran penting bagi umat Islam. Barat menjadi sekuler dan liberal karena tiga faktor:

Pertama, trauma sejarah, sejarah dari Barat telah membuktikan bahwa ketika agama Kristen mendominasi kekuasaan dan diterapkan ternyata yang terjadi adalah perpecahan, kezhaliman dan kegelapan. Segala sesuatu yang bertentangan dengan gereja langsung dianggap kafir dan banyak yang disiksa dan dihukum mati oleh gereja secara sadis, sampai zaman itu disebut the dark ages. Sehingga Barat berusaha menjauhi atau memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan.

Kedua, problem teks bibble. Bible kitab suci mereka sendiri telah bermasalah yaitu tentang keasliannya (otentisitasnya) dan kandungannya. Perjanjian Lama sampai saat ini masih merupakan misteri, dan penulisnya pun tidak diketahui. Sementara Perjanjian Baru juga misteri, teks yang asli tidak ada, sementara yang ada yaitu berbahasa Yunani (Greek) jumlahnya sekitar 5.000 manuskrip yang berbeda satu dengan lainnya.

Kemudian isinya berisi kekufuran dan pornografi, bahkan Nabi Sulaiman (Salomo) digambarkan secara tidak patut. Di kitab I Raja-raja 11:1-9 ada judul “Salomo jatuh ke dalam penyembahan berhala.” Dan di kitab Ulangan 17:2-7 ada judul “Hukuman mati untuk penyembah berhala.” Demikianlah bible banyak bermasalah.

Ketiga, problem teologi Kristen. Doktrin teologi Kristen tidaklah disusun pada masa Yesus tetapi bentukan Konsili Nicea tahun 325 M yang kemudian diubah pada Konsili Kalsedon pada tahun 451 M. Maka pada agama Kristen telah terjadi permaslahan yang sangat serius tentang masalah Tuhan. Kesimpangsiuran diantara mereka sampai pada menganggap Tuhan dan setan itu sama. Banyak ilmuan dari Barat menolak Kristen karena bertentangan dengan akal mereka. Dr. C. Groenen Ofm, seorang telog Belanda menyimpulkan bahwa kekacauan para pemikir Kristen di dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran cultural di Barat. Hingga Groenen menyerah kalah dan putus asa dengan mengatakan bahwa konsep Kristen tentang Yesus memang “misterius”, dan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Maka solusinya kata dia “jangan dipikirkan”.

Dari fakta ini penulis merasa heran dengan banyaknya cendekiawan muslim yang justru latah mengikuti mereka, menjadi korban globalisasi yang tidak lain adalah liberalisasi dan sekularisasi di segala bidang, padahal Barat bersikap anti agama karena traumatis terhadap hegemoni Kristen yang kejam dan teologinya bermasalah dan Kitab sucinya juga bermasalah.

Pada bab ketiga penulis menyoroti bercampurnya gerakan Barat dengan Zionis, sehingga sangat tepat memilih judul Perselingkuhan dengan Zionisme. Gerakan kaum Yahudi sekuler disebut Zionisme karena mengambil akar kata dari zion yang merupakan nama salah datu bukit di jerussalem. Permasalahan yang paling pelik adalah masalah pendudukan bangsa zionis Yahudi di Palestina. Sukses zionisme adalah perselingkuhan antara kaum zionis yahudi dengan imperialism Barat. Gerakan Zionis yang berhasil mendirikan Negara Yahudi Israel di tanah Palestina dipelopori oleh Theodore Herzl, telah banyak memberikan konstribusi pada Barat karena tanpa adanya Zionis di belakang mereka, maka Barat tidak mempunyai dana, oleh karena itu Barat selalu berpihak pada penjajah Zionis atas Palestina.

Maka problem besar yang dihadapi dunia Islam terkait penjajahan masjidil Aqsha di Palestina tidak lepas dari sejarah panjang perjalanan Yahudi, Kristen, Zionisme dan kepentingan Imperialisme Barat. Oleh karena itu tidak heran bila penjajahan Yahudi atas Palestina disahkan oleh PBB yang dipimpin oleh Barat.

Pada bab keempat penulis memberi judul “The End of History atau The End of The West”. Penulis menggambarkan bahwa setelah memenangkaan perang kecil-kecilan melawan Komunisme di abad ke-20 maka Barat menjadi penguasa tunggal berada di puncak piramida kekuasaan. Maka Barat yang dipimpin Amerika memegang kunci-kunci kekuasaan dunia. Setelah era dominasi peradaban Barat ini tidak ada lagi peradaban lain yang berbeda dengan Barat (seperti monarki, teokrasi, fasisme, komunisme, totalitarianisme, atau apapun) yang akan menggantikan Barat, yaitu demokrasi liberal. Maka ini adalah era akhir sejarah (The end of History). Begitulah istilah dan prediksi yang disampaikan oleh Francis Fukuyama. Menurut Fukuyama yang sulit menerima demokrasi liberal adalah Yahudi Ortodoks dan Islam Fundamentalis yang keduanya diistilahkan dengan totalistic relegions.

Menurut penulis klaim-klaim Fukuyama ini sangat rapuh dan didustakan oleh fakta, sebab demokrasi liberal tidak bisa diterapkan dalam semua aspek kehidupan manusia khususnya di dunia internasional. Dan faktanya dunia Barat sendiri tidak konsisten dengan prinsip demokrasi mereka. Begitu pula dengan konsep demokrasi liberal progresif versi Lipmann yang penuh dengan paradox itu.

Maka menurut penulis gagasan Fukuyama itu justru memunculkan gagasan baru The End of The West, apalagi ketika melihat AS dan Eropa , khususnya Jerman dan Perancis telah berbeda dalam banyak hal prinsip. Maka demokrasi dalam level global tidak berjalan. Demokrasi hanyalaah jargon kosong, bahkan sejak berdirinya, PBB mempertahankan strukturnya yang tidak demokratis.

Samuel P. Hungtinton penasehat utama politik luar negri Amerika Serikat menulis panduan dalam menjalankan politik luar negri AS: “Adalah manusiawi untuk membenci. Untuk menentukan jati diri dan sebagai motivasi orang membutuhkan musuh: competitor dalam bisnis, rival dalam pencapaian, dan lawan dalam politik.” Kini di era ultramodern AS negara terhebat dalam sejarah manusia menentukan musuh utamanya seorang kakek bernama Osama bin Laden. Inikah sejarah baru atau inikah akhir dari sejarah Barat?

Pada bab kelima penulis memberi judul “Jalan Kematian Sebuah Peradaban: Kelihatannya Membawa Kemajuan Hidup, Hakikatnya Membuat Kerusakan Dunia. Inilah kesimpulan penulis setelah melihat sepak terjang peradaban Barat. Apa yang telah dilakukan oleh Amerika sebenarnya adalah telah menggali kuburan untuk dirinya sendiri. Barat telah menciptakan mekanisme dan mesin penghancur untuk dirinya sendiri. Banyak kebijakan-kebijakan atau perilaku Amerika yang mengandung pertentangan di seluruh negara dan bahkan di negaranya sendiri. Perilaku negara super power tersebut banyak yang merusak lingkungan hidup seperti memproduksi senjata dan bahan-bahan industri kimia yang berbahaya. Amerika yang merupakan negara penghasil polusi terbesar di dunia secara jelas dan nyata tidak ingin menandatangani perjanjian Kyoto mengenai lingkungan hidup.

Peradaban Barat terbukti tidak membawa kenyamanan bagi sebagian besar manusia. Kezhaliman menyatu dalam system yang dikembangkannya. Globalisasi yang dikembangkan sejak 1980-an atas dasar kebijakan neoliberalisme telah membawa petaka, yang kaya semakin kaya yang miskin menunggu mati kelaparan setiap saat, hingga di Negara-negara berkembang 40.000 orang mati setiap hari menurut laporan tahun 1990-an. Maka peradaban lalim seperti ini pasti berakhir seperti yang dikatakan oleh John Mohawk: “Pandangan hidup peradaban Barat adalah sebuah jalan kematian.”

Ini adalah beberapa sisi wajah Barat yang diungkap oleh penulis di bagian pertama. Pada Bagian Kedua, bab keenam dan Ketujuh penulis memberi judul “The Clash of Civilization : Antara Fakta dan Skenario politik dan What’s Wrong with Bernard Lewis”.

Di sini penulis menegaskan bahwa Barat menganggap persetruan mereka dengan komunis yang berlangsung sangat dahsyat mereka anggap sebagai bukan pertarungan sebenarnya dan mereka katakan itu bersifat dangkal bila dibandingkan perseteruan mereka dengan Islam. Mereka menganggap Islam adalah  satu-satunya peradaban yang eksis yang dapat menganggu kestabilan peradaban Barat begitulah yang dikatakan oleh penasihat politik Amerika yaitu Samuel Huntington. Sebelumnya, Bernard lewis yang merupakan keturunan Yahudi juga menaruh dendam pada Islam karena Islam dianggap telah merebut wilayah kekuasaan Kristen. Banyak sekali kata-kata kotor yang ditujukan pada Islam oleh Bernard Lewis ini yang menandakan kebenciannya kepada islam, dan mewakili pandangan Barat kepada Islam.

Begitu pula menurut Hungtington, Muslim cenderung melihat Barat sebagai ancaman, maka benturan antara dua peradaban itu tidak bisa dielakkan. Bahkan Hungtinton tahun 1996 melihat, jika Indonesia dan Malaysia melanjutkan perkembangan ekonominya, maka keduanya akan menyajikan model Islam sebagai tandingan terhadap model Barat dan Asia. Yang menarik adalah, pandangan Hungtington tersebut sangat berpengaruh pada aplikasi kebijakan Amerika serikat. Buktinya? Tahun 1997 setahun setelah buku Hungtington, ekonomi Thailand, Malaysia dan Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berat yang dimuali dengan penghancuran nilai mata uangnya.

Hungtington, Bernard Lewis dan kawan-kawannya dari kalangan neo-konservatif terus berkampanye agar Negara-negara Barat mengikuti jejak Amerika Serikat dalam menjadikan Islam sebagai musuh utama Barat, setelah komunis. Oleh karena itulah istilah-istilah yang digulirkan oleh Amerika seperti islam moderat, islam radikal dan terorisme sarat dengan kepentigan politik Amerika untuk menjaga kekaisaran Amerika dan untuk menjaga anak emasnya yaitu Israel. Maka sikap Amerika ini sangat erat kaitannya dengan upaya mengalahkan umat Islam dengan “kata” dan “kasih””, sebagaimana trik Amerika yang telah diungkap dalam buku Syaikh Shalih al-Ghamidi “Al-Islam alladzi Yuriduhu al-Gharb (Islam yang Diinginkan oleh Barat)”.

Pada bab kedelapan yang berjudul “Beberapa Mitologi tentang Islam”, upaya menaklukkan Islam dengan “kata” dan kasih” semakin dipertajam, karena orang-orang Kristen Barat berusaha menyebarkan mitologi-mitologi tentang Islam, banyak cerita-cerita mitos yang menggambarkan seolah-olah merekalah yang benar dan menganggap Islam sebagai ajaran setan. Orang barat Kristen menyukai cerita-cerita mitos karena mereka dahulunya peninggalan Yunani yang merupakan sebuah bangsa yang kaya akan cerita mitos, klenik dan tidak masuk akal, sebagaimana Sinterklas merupakan pengaruh mitologi Barat terhadap Kristen.

Mitos-mitos tentang ancaman Islam terus dibangun pasca Peristiwa 11 September 2001. Kebijakan pemerintah AS yang paranoid terhadap kaum muslimin ini mungkin juga dipengaruhi oleh pandangan warga Negara Amerika yang berdasarkan polling tahun 1990, memandang Islam secara negative.

Oleh karena itu sikap mendua atau penerapan double standart adalah menjadi ciri khas Amerika. Maka bisa dipahami bahwa dalam kehidupan di Amerika, propaganda dan penciptaan mitologi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.

Pada bab sembilan yang berjudul “Trauma dan Islamofobia” ini penulis melanjutkan pembahasan dan pembuktiannya mengenai kebencian Kristen Barat terhadap Islam, mereka lebih membenci Islam ketimbang membenci negara Jepang yang jelas-jelas telah menyerang pelabuhan Pearl Harbour yang menyebabkan Perang Dunia Kedua tersebut. Dendam mereka tersebut dikarenakan mereka telah dikalahkan dalam Perang Salib oleh tentara Islam.

Pada bab sepuluh yang berjudul “Paradoks Wacana Terorisme dan Fundamentalisme” ini Barat berusaha membagi Islam dalam beberapa bagian yaitu Islam teroris atau fundamentalis yang mereka anggap musuh dan Islam garis lunak. Pada dasarnya mereka hanya ingin membantai umat Islam dengan memecah belah umat Islam.

Pada bagian ini kita ingat kitab baru yang berjudul Al-Islam alladzi Yuriduhu al-Gharb: Qiraah Fi Watsiqah Amrikiyyah (Islam yang diinginkan oleh Barat: telaah dokumen Amerika), sebuah Tesis yang ditulis oleh Shalih bin Abdillah al-Hassab al-Ghamidi, terbitan Riyadh: Markaz al-Fikr al-Muashir, 1/1432 H. Buku ini meneliti dan menganalisa laporan Rand Corporation, sebuah lembaga penelitian Amerika yang paling menonjol. Laporan ini diberi judul Islam ( إسلام حضاري ديمقراطي شركاء وموارد واستراتيجيات(Islam Beradab dan demokratis adalah mitra, sumber daya dan strategi). Dengan lantang dan untuk pertama kali menyatakan wajibnya mengubah dunia Islam secara pemikiran melalui upaya mempengaruhi secara langsung ke dalam ajaran agama Islam dan dengan tangan-tangan orang Islam. Jadi apa yang dikatakan oleh Henry Martyn tentang strategi penaklukan Barat terhadap Islam pasca Perang Salib harus melalui “kata dan kasih” sangat jelas terlihat, sebagaimana banyak dibuktikan oleh fakta yang dikutip oleh Dr. Adian Husaini.

Pada bab kesebelas yang berjudul Islam-Barat: A permanent confrontation ini memberikan gambaran bahwa antara pandangan Islam dan Barat secara dasar sudah berbeda. Barat memandang segala sesuatu secara materialistic akan tetapi Islam tidak demikian.

Demikian wajah Peradaban Barat yang memandang Islam penuh kebencian, memandang islam sebagai musuh utama setelah perang melawan Komunis, dan setelah trauma dengan kekalahan di perang Salib. Maka Barat selalu ketakutan dengan kebangkitan Islam, dan berupaya menaklukkan Islam meski dengan membuat mitos-mitos tentang Islam dan membuat stigma kepada Islam dan memecah belah kekuatan umat Islam.

Bagian ketiga dari buku Wajah Peradapan Barat diberi judul “Tema-tema Invasi Pemikiran”. Ini adalah untuk membuktikan bahwa penaklukan Islam melalui “kata dan kasih” sangat serius. Sehingga di bab dua belas dibahas secara khusus isu sekularisme, lalu di bab ketiga Belas dibahas Hermeneutika dan Studi al-Qur`an, dan di bab keempat Belas dibahas Pluralisme Agama.

Pada bab lima belas yaitu bab terakhir penulis membahas “Pelajaran dari kasus konflik Islam-Kristen di Indonesia”. Penulis memulai dengan mengutip pidato Alfonso d’Albuquerque saat menduduki Malaka yaitu ucapannya; “Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor (Muslim) dari negera ini dan memadamkan api Sekte Muhammad sehingga ia tidak lagi muncul lagi sesudah ini…”

Penulis mengingatkan bahwa sejarah konflik Islam-Kristen di Indonesia bisa ditelusuri sejak kedatangan penjajah Belanda dan Portugis ke Indonesia. Kedua bangsa itu datang ke Indonesia ini untuk menjalankan program trilogy imperialisme, yaitu Gospel, Gold dan Glory. Kemudian konflik berlanjut dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kemudian berlanjut di masa Orde Lama, di masa Orde Baru dan di masa Reformasi tahun 2003 sampai sekarang ini.

Setelah itu penulis menutup dengan menjelaskan sebab-sebab konflik dan solusinya. Penulis menegaskan bahwa Piagam Jakarta sebenarnya adalah “rumusan kompromi”, bukan kemenangan Islam 100 persen, namun tetap mereka tolak, dan lagi-lagi umat Islam mengalah. Gagasan “Piagam Jakarta” dan sejenisnya seperti UU kerukunan Umat Beragama, adalah suatu upaya mencari titik temu di bidang sosial kemasyarakatan. Jika tidak ada titik temu atau kesepakatan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara kesatuan RI ini maka potensi konflik akan terus terpelihara dan sewaktu-waktu dapat terjadi atau dimainkan oleh musuh luar. Sayangnya, pihak Kristen terus menolak alternative solusi seperti ini.

Maka di tengah krisis multidimensional ini komunikasi terus dibangun dan agenda bersama harus dirumuskan untuk mengurangi gesekan-gesekan antar pemeluk agama.

Demikianlah, buku Wajah Peradaban Barat yang sangat ilmiah dan lengkap ini. Buku yang layak ditelaah oleh para cendekiawan muslim, para dosen, para aktifis muslim dan para pemerhati pemikiran Islam, bahkan oleh para pejabat di Negri ini. Namun Allah telah menetapkan bahwa tidak ada kitab yang ma’shum kecuali al-Qur`an, maka buku ini masih bisa disempurnakan lagi, artinya buku ini memiliki beberapa kekurangan atau kelemahan antara lain:

  1. Kurangnya referensi yang berbahasa Arab, sebab banyak karya para ulama yang mengabadikan pertemuan bahkan persetruan dua peradaban ini.

  2. Kurang mengaitkan dengan nubuat Nabi i tentang hubungan Islam dan Umat Ahli Kitab di akhir zaman.

  3. Tidak memberikan kesimpulan di akhir dari setiap bagian buku tentang wajah peradaban Barat yang sudah dipaparkan fakta dan datanya.

Demikian resensi ini semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bish shawab.

Malang, 3 Rabiul Awal 1436 H/ 25 Desember 2014.

1 Suara-suara sumbang seperti ini terus bergulir hingga sekarang. Republika Online pada hari Ahad, 23 Nopember 2014. menurunkan berita dengan bukti video bahwa Bottom of Form

Pastur fundamentalis, James McConnell, dalam pidato kebaktiannya menegaskan dengan suara lantang bahwa Islam adalah agama setan, Islam adalah doktrin yang berasal dari neraka, dan penuh dengan kebencian. Baca Redaksi ROL, Pastur Ini Bilang Islam Agama Setan. [Online], http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/14/11/23/nfheme-pastur-ini-bilang-islam-agama-setan. Ahad, 6 Rabiul Awwal 1436 / 28 Desember 2014.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *