Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Pada edisi lalu saya menyajikan bagian kedua dari terjemahan makalah Dr. Usman Qadri Makanisi yang intinya:
1. Pengikat ilmu yaitu hafalan dan tulisan.
2. Dalam interaksi diperlukan adanya rasionalitas
3. Dialog adalah cara yang maju dalam mengembangkan ilmu dan mengatasi masalah.
4. Di antara keberhasilan pendidikan adalah: a) Mampu menjalani hidup dengan baik dan melewati segala cobaan dan tantangan dengan baik. b) berbakti kepada kedua orang tua.
Pendidikan harus mampu membentuk anak shalih, ukurannya berbakti kepada orang tua sedini mungkin khususnya membela kehormatan orang tua dengan hujjah. Kini kita lanjutkan dengan “Renungan Pendidikan Dalam Surat Maryam” bagian ketiga. Berikut ini adalah terjemahan saya terhadap lanjutan tulisan Dr. Usman Qadri yang saya beri catatan kaki, nama surat dan nomor ayat, juga sumber hadits serta kesimpulan akhir:
Kata ujaran atau khithab “udzkur” dari Allah kepada Nabi-Nya yang mulia adalah perintah kepadanya agar tidak melupakan sedikit dari apa yang Allah perintahkan. Maka Rasulullah saw adalah pemegang amanah atas dakwah. Ia harus menyampaikannya. Ini adalah amanah di pundak beliau. Sebagaimana setiap muslim adalah seorang da’i di lingkungannya, apakah besar atau kecil. Juga karena al-Qur`an dari awal hingga akhir adalah berbicara kepadanya saw, maka ini bukti bahwa al-Qur`an bukanlah dari Muhammad, melainkan dari Allah swt. Seseorang tidaklah memerintah dirinya di hadapan para pendengar dan para pembaca. Benar, berfikir kadang-kadang dengan suara tinggi namun banyaknya perintah dan pengajaran di dalam al-Qur`an menunjukkan bahwa Rasulullah saw adalah pelaksana dan penyampai ajaran Sang Pencipta yang Berkuasa dan memberi titah.
2. Banyak memberi pujian.
Pujian adalah uslub (model) yang tinggi, yang dipakai oleh para pembimbing:
Allah telah memuji hamba-Nya Ibrahim as dengan dua sifat yang tidak mungkin disandang kecuali oleh orang yang berada dalam puncak kesempurnaan kemanusiaan yaitu “banyak benar/jujur dan kenabian”, disertai dengan alasan mengapa sampai kepada dua martabat yang agung ini, yaitu karena dia adalah seorang da’i yang ikhlas untuk dakwahnya, tidak karena manusia selamanya. Ini adalah ayahnya, manusia yang paling dekat dengannya, ia mendakwahinya dengan lebih dari 1 cara tarbiyah yang indah, yang pertama adalah apa yang saya sebutkan berikut ini yaitu dimuali dengan poin nomor 3:
3. Tahabbub
Tahabbub akan memasukkanmu ke dalam hati tanpa permisi, akan menempatkanmu di tempat yang tinggi di dalam dada dan jiwa para mustami’. Adapun orang yang tinggi hati maka kebalikannya, jiwa manusia akan lari dari padanya, berat untuk menerimanya. Maka diulangnya kata panggilan “ya abati” adalah upaya mendekat agar dicintai oleh ayahnya, dan upaya untuk merasuk ke dalam hatinya.
Wahai ayahku mengapa engkau menyembah apa yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat dan tidak berguna bagimu sedikitpun?
Wahai ayahku, aku diberi ilmu, apa yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, aku akan menunjukanmu kepada kebenaran.
Wahai ayahku, jangan engkau sembah setan, sesungguhnya setan itu adalah pembakang terhadap Allah yang Maha rahman.
Wahai ayahku, aku sangat mengkhawatirkan azab dari Allah mengenaimu sehingga kamu menjadi penolong bagi setan.
4. Mengulang
Mengulang adalah uslub orisinal dalam tarbiyah, selain sebagai faktor untuk membuat anak-anak cinta, juga untuk menegaskan, meyakinkan, merinci dan memperingatkan bahwa perkara ini agung dan penting. Sesungguhnya memukul-mukul besi itu bisa melunakkannya, akan tetapi hati orag kafir lebih kuat dari besi, atau berasal dari batu sehingga tidak berguna usaha menggaet atau lembut.
5. Berurutan dan runut dalam pemaparan
Dalam ayat pertama dari ucapan Ibrahim terdapat satu teguran lembut untuk ayahnya: bagaimana ia menyembah tuhan-tuhan yang lemah, yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak berguna? Didahulukan pendengaran atas penglihatan sebab ia lebih luas, maka diletakkan di depan, disebut lebih dulu. Ini sifat al-Qur`an selalu mendahulukan yang lebih penting. Urutan ini menjadi jelas tentang nilai kepentingannya dalam firman Allah: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak laki-laki, harta yang melimpah berupa emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.” (QS. Ali Imran: 14)
Orang akan membelanjakan hartanya untuk menikah lalu melahirka anak-anak. Jadi wanita terlebih dahulu kemudian keturunan laki-laki, dan harta untuk melayani keduanya, maka disebut nomor 3 dalam urutan urgensinya. Lalu didahulukan emas atas perak, kemudian kuda disebut didahulukan atas hewan ternak seperti unta, sapi dan kambing. Kemudian terakhir adalah tanaman.
Setelah teguran atas kesesatannya, ia mengajaknya untuk mengikuti ilmu. Orang jahil itu betapa pun tuanya mesti harus mengikuti orang alim walau lebih muda usia. Kebenaran lebih berhak untuk diikuti. Ilmu dan hidayah itu menunjukkan kepada jalan yang lurus, maka tidak sama antara orang alim dan orang jahil.
Kemudian setelah itu datang peringatan terhadap setan sebab ia adalah musuh Allah, yang selalu menyesatkan pengikutnya, maka Allah murka kepadanya, dan orang yang membangkang terhadap Allah pasti nasib akhirnya adalah neraka.
Setelah itu datang peringatan agar takut kepada Allah yang menghukum setan dan pengikutnya dengan adzab neraka. Ibrahim as mengkhawatirkan atas ayahnya karena ia mencintainya. Dalam tafsir firman Allah: “Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan,” (QS. Al-Syu’ara’: 87) bahwa Ibrahim bertemu ayahnya pada hari kiamat, sementara ayahnya tertutup oleh debu dan kegelapan, maka Ibrahim berkata: “Wahai Tuhanku, Engkau telah menjanjikan aku untuk tidak menghinakan aku di hari mereka dibangkitkan.” Maka Allah berfirman: Aku telah mengharamkan surga atas orang kafir.” Dalam satu riwayat: Ibrahim bertemu ayahnya Azar di hari kiamat sementara wajahnya penuh dengan debu dan kegelapan, maka Ibrahim berkata kepadanya: “Bukankah aku sudah berkata kepada ayah ‘janganlah membangkang aku’.” Maka ayahnya berkata: “Hari ini aku tidak membangkangmu.” Maka Ibrahim berkata: “Wahai Tuhanku, Engkau telah berjanji padaku untuk tidak menghinakan aku di hari mereka dibangkitkan, maka adakah kehinaan yang lebih dari pada ayahku yang jauh?” Maka Allah berfirman: “Aku telah mengharamkan surga atas orang kafir.” Kemudian berfirman: “Wahai Ibrahim, lihat di bawah kakimu.” Lalu ia melihat, ternyata ada hewan sembelihan yang berlumur darah lalu diangkat kakiknya lalu dilemparkan ke neraka. Na’udzu billah minannar.
Uslub bertahap ini, dari teguran (laum) kepada dakwah kemudian kepada peringatan (tahdzir), kepada menakut-nakuti (takhwif) adalah uslub pendidikan yang membawa anak didik atau obyek dakwah, menuntun mereka selangkah demi selangkah.
6. Santun
Seorang da’i dalam dakwahnya harus santun, lapang dada, bisa menerima para mad’u walaupun mereka berbuat buruk kepadanya. Ini yang kita saksikan ada dalam diri Nabi Ibrahim ketika ayahnya menghardiknya dengan ucapan: “Apakah kamu tidak suka sesembahan-sesembahanku wahai Ibrahim?” Dan ketika ayahnya mengancamnya dengan pelemparan batu dan pengusirannya: “Jika kamu tidak berhenti aku akan merajammu, dan tinggalkan aku buat waktu yang lama.” Maka Ibrahim menjawab dengan ucapan yang paling lembut menunjukkan kesantunannya: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam: 46-47)
Sungguh ini adalah uslub (gaya bahasa) yang menunjukkan kepedulian seorang da’i kepada dakwahnya dan kepada mad’unya, kepedulian murabbi (guru) kepada profesinya dan kepada muridnya. Sesungguhnya jawaban keras, kasar, dan tergesa-gesa sebagai reaksi adalah sangat merugikan dan tidak mendatangkan manfaat. Jika ada manfaat maka tidak ada lagi ruang untuk tafahum (saling memahami), tidak ada lagi ruang bagi nasehat untuk diterima. Seorang da’i telah kehilangan kesempatan untuk memikat hati manusia.
Inilah yang dilakukan oleh para orang shalih yang melakukan perbaikan di segala zaman dan tempat. Mereka mengatakan:
سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجاهِلِينَ
“Semoga keselamatan atas dirimu, kami tidak ingin meladeni (menjadi seperti) orang-orang jahil.” (QS. Al-Qashash: 55)
Ini adalah sifat hamba-hamba Allah yang Maha Kasihsayang yang dipuji oleh Allah dengan firmannya: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al-Furqan: 63)
7. Syafaat
Syafaat adalah menginginkan kebaikan untuk orang lain, dengan cara ia menjadi perantara bagi mereka agar mereka mendapatkan kebaikan dari pihak yang mereka harapkan. Inilah yang diinginkan oleh Ibrahim saat berkata: “Aku akan memintakan ampunan untukmu kepada Tuhanku, sesungguhnya Dia sangat sayang kepadaku.” Seorang mad’u jika melihat dari seorang da’i adanya kepedulian dan perhatian pasti akan lunak dan luluh hatinya kemudian menerima apa yang dikatakan, kemudian beriman dengan ajarannya, kemudian ia memeluknya dan menjadi pembelanya, namun jika engkau kasar dan keras hati niscaya mereka akan lari dari sekitarmu.
Dulu para sahabat berkumpul di sekitar Rasulullah saw. Ketika tiba-tiba datang seseorang dari jauh menuju majelisnya, maka Rasulullah menoleh kepada mereka seraya berkata: “Ini orang datang ingin meminta sesuatu kepadaku, aku akan memberinya insyaallah, akan tetapi kalau ia memintanya kepadaku maka berikanlah syafaat kepadanya, Allah akan memberi pahala kepada kalian atas syafaat kalian, dan Allah memutuskan apa saja melewati lisan Nabi-Nya.”
Orang itu datang dan duduk dan tidak berkata sepatah katapun, maka Rasulullah saw berkata: “Apakah engkau memerlukan sesuatu?” Dia menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Lalu dia menyebutkan hajatnya, maka para sahabat Nabi saw berkata: “Dia layak menerima kemurahanmu wahai Rasulullah. Kami tidak mengenalnya kecuali kebaikan, ya Rasulallah. Berbuat baiklah kepadanya, ya Rasulallah. Kami tidak mengetahuinya kecuali dia orang baik.”
Orang tadi melihat senang kepada mereka karena syafaat mereka. Dia telah jatuh hati kepada mereka dan dia merasa dia bagian dari mereka dan mereka bagian dari dirinya.
Maka Rasul-pun tersenyum, senang melihat mereka bisa memikat hati seseorang untuk bergabung dengan kaum muslimin, dan mengetahui bahwa para sahabatnya saling menolong, lalu beliau menunaikan hajatnya. (lihat, HR. Bukhari: 6026)
8. Menjauhi orang jahil
Seorang muslim adalah da’i, bagaimana ia akan berdakwah kalau dia mengucilkan diri dari manusia. Dia harus hidup di tengah mereka untuk memberi pengaruh kepada mereka. Ia bersama mereka secara fisik akan tetapi dia bersama Allah secara pikiran, jiwa, dan hati. Dia bermuamalah dengan masyarakat dengan baik, lapang dada kepada mereka, ikut serta dalam kehidupan mereka, akan tetapi menjauhi kerusakan mereka. Bagaimana akan mengucilkan diri secara total sementara Rasulullah saw bersabda:
“Muslim yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak berinteraksi dengan mereka dan sabar atas gangguan mereka.”
Ibrahim as berkata: “Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah.” (QS. Maryam: 48)
Ini adalah uzlahnya orang muslim yang menjauhi kemunkaran dan kebodohan, akan tetapi ia hadir di tengah mereka untuk memberi hidayah kepada mereka. Ia melayani kaumnya dan begadang malam untuk kemaslahatan mereka, untuk memberi peringatan kepada mereka, mengajak dan menyemangati atas kebenaran.
9. Pahala orang shalih
Allah berfirman: “Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, maka Allah anugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya’qub, dan masing-masing Kami angkat menjadi nabi. Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.” (Maryam: 49-50)
Allah memberinya anak yang shalih dan cucu yang shalih setelah mandul. Allah menambah lagi kenikmatan itu dengan mengangkat keduanya menjadi Nabi, dan memuliakan mereka dengan tetapnya penyebutan baik untuk mereka dan keturunan mereka sepanjang masa. Semua orang muslim dan lainnya dari orang beragama mengagungkan mereka, bahkan Allah mengabarkan bahwa Dia memuliakan anak-anak karena kebaikan bapak-bapak: “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS. Al-Kahfi: 82)
Juga orang shalih dalam Surat al-Kahfi yaitu Nabi Khidir telah membunuh anak kecil yang jelek dan Allah menggantikannya dengan anak perempuan yang shalihah sebab kedua orang tuanya adalah orang shalih. (QS. Al-Kahfi: 80-81)
Jadi Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.
Kesimpulan:
Surat Maryam di dalam al-Qur`an berisi banyak prinsip pendidikan, pendekatan mengajar dan berdakwah, serta karakter guru dan da’i. Diantaranya adalah:
Semoga bermanfaat. Nantikan bagian keempat. [*]