Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Pada zaman global pandemic virus Wuhan China yang dikenal dengan penyakit covid-19 banyak masjid di dunia islam termasuk Indonesia ditutup atau dibatasi aksesnya dari para jamaah. Bahkan Masjidil Haram dan Ka’bah pun juga dibatasi hanya untuk sedikit orang. Barang kali Anda bertanya-tanya, mengapa shalat jamaah dilarang? Mengapa shalat jumat juga ditiadakan? Mengapa ibadah umrah diliburkan? Mengapa harus begitu? Apakah itu berarti tidak takut kepada Allah? Apa tidak menyalahi syiar Islam?
Para pembaca yang budiman. Wabah penyakit itu menular, dan menular itu ada karena kontak antara orang yang sakit dengan orang sehat. Jika kontak dengan satu orang akan menulari satu orang, dan jika kontak dengan sepuluh orang akan menulari lebih dari satu orang, maka semakin banyak kerumunan orang akan semakin banyak yang tertular. Kalau sebagian yang sakit diobati dan sebagaian lain masih menularkan maka akan banyak jatuh korban. Hal ini tentu bertentangan dengan hadis Nabi ﷺ:
«لاَ يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ»
“Janganlah pemilik onta yang sakit membawa untanya kepada onta orang yang ontanya sehat semua.” [1] (HR. Bukhari, 5771, dari Abu Hurairah)
Saat Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya)” seorang baduwi mempertanyakan:
أَرَأَيْتَ الإِبِلَ، تَكُونُ فِي الرِّمَالِ أَمْثَالَ الظِّبَاءِ، فَيَأْتِيهَا البَعِيرُ الأَجْرَبُ فَتَجْرَبُ؟
“Bagaimana menurut Anda, onta-onta berada di pasir (mereka gesit, sehat, lincah, dan kuat)[2] seperti kijang, begitu didatangi oleh seokor onta yang terinfeksi penyakit jarab (gatal-gatal di kulit) maka seluruh onta terkena penyakit jarab?” Maka Nabi ﷺ menjawab dengan telak:
«فَمَنْ أَعْدَى الأَوَّلَ»
“Lalu siapakah yang menulari onta pertama ( siapa yang menjadikan onta pertama itu sakit)”?! (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah, 5775, Muslim, 101)
Dengan sabdanya ini Nabi ﷺ ingin:
Oleh karena itu Rasulullah ﷺ memerintahkan kita untuk lari dari sumber penyakit atau orang yang terinfeksi seperti kita lari dari singa, sambil meyakini bahwa tidak ada yang menimpa kita kecuali sebatas apa yang Allah takdirkan untuk kita. Allah berfirman:
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَىٰنَا ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”.(QS. Al-Taubah 51)
Rasulullah ﷺ bersabda:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Larilah kamu dari orang yang sakit kusta, seperti larimu dari singa” (HR. Ahmad, 9722, shahih)
Bahkan Nabi Muhammad sendiri pernah memberi contoh, yaitu dalam rombongan delegasi Tsaqif ada seorang yang berpenyakit kusta, maka Nabi ﷺ mengutus utusan untuk menemui orang itu untuk menyampaikan bahwa Nabi ﷺ bersabda: Kami telah membaiatmu (menerima baiatmu) maka kembalilah (tidak perlu bertemu dengan Nabi ﷺ”. (Baihaqi, al-Sunan al-Shughra, 3/65)
Oleh karena itu pula Rasulullah melarang keluar orang yang berada di daerah wabah (ke perkampungan lain) khawatir menjadi sebab penyebaran penyakit ke kampung lain. Sambil berdiam diri dalam isolasi atau karantina dia juga berkeyakinan kepada takdir Allah:
لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ»
“Tidak ada seorang pun yang berada di tempat terjadinya wabah tha’un lalu dia berdiam diri di situ dengan sabar, mengharap pahala dari Allah dan meyakini bahwa tidak akan menimpa dirinya kecuali apa yang telah Allah takdirkan untuk dirinya, melainkan ia mendapatkan seperti pahala syahid.” (HR. Bukhari, 3474)
Rasulullah juga menegaskan:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ
“Apabila kamu mendengar ada wabah tha’un di suatu daerah maka janganlah kamu mendatanginya, dan apabila telah terjadi wabah di suatu daerah sedangkan kamu berada di dalamnya maka janganlah keluar darinya, karena ingin lari darinya.” (HR. Bukhari, 3473)
Dari sinilah lahir apa yang disebut dengan karantina, isolasi, social distancing (menjaga jarak saat tatap muka), lalu oleh WHO diubah menjadi Physical Distancing (tidak ada tatap muka). Juga ada istilah Luckdown (penutupan total).
Ini semua adalah ajaran Nabi ﷺ, yang kebenarannya terus dibuktikan oleh sejarah dan ilmu. Kalau ajaran Nabi ﷺ ini dilarang maka akan terjadi penularan yang dahsyat dengan izin Allah. Perhatikanlah bagaimana wabah dengan hebat menimpa umat Islam di kota Damaskus dan Kairo tatkala mereka memutuskan untuk melakukan doa bersama guna menolak wabah tha’un tanpa fatwa para ulama rabbani yang mumpuni ilmunya. Mereka ingin mengubah ibadah pribadi kepada ibadah jama’i karena tidak memahami ketentuan syariat, apalagi di jaman wabah.
Imam Ibnu Hajar al Asqolani Rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Badzl al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un; “ Bahwa berdoa untuk mengangkat bala’ tidaklah dilarang dan tidak pula bertolak belakang dengan takdir sama sekali, akan tetapi berkumpul untuk doa bersama sebagaimana shalat istisqa’ adalah bid’ah yang terjadi pada masa terjangkitnya wabah “Tha’un besar” di Damaskus tahun 749 Hijriyah. Saya membaca dalam Juz al-Munbaji setelah pengingkaran beliau atas berkumpulnya orang-orang di suatu tempat, dia mengatakan: Maka mereka berdoa dan mengeraskan suara keras sekali. Ini terjadi pada tahun 764 H ketika terjadi tha’un di Damaskus. Maka dia menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada tahun 749 H, dan mereka berkumpul di padang pasir (tanah lapang yang luas), juga seluruh pembesar negeri, mereka berdoa dan beristighatsah (meminta pertolongan kepada Allah). Maka tidak lama kemudian wabah justru semakin menyebar padahal sebelum pertemuan itu yang terinfeksi hanyalah sedikit.”
Tidak diragukan lagi bahwa wabah ini semakin berkobar karena ada kerumunan orang dalam jumlah besar dalam rangka memanjatkan doa tolak balak, tetapi tanpa mereka sadari hal itu justru mengundang balak yang semakin dahsyat.
Ibnu Hajar kemudian mengatakan:
ووقع هذا في زماننا حين وقع أوَّلُ الطاعونِ بالقاهرة في ٢٧ من شهر ربيع الآخَر سنة (٨٣٣) ، فكان عددُ من يموتُ بها دون الأربعين ،فخرجوا إلى الصحراء في ٤ جمادى الأولى بعد أن نودي فيهم بصيام ثلاثة أيامٍ كما في الاستسقاء ، واجتمعوا ودعوا وأقاموا ساعةً ثم رجعوا ، فما انسلخ الشهر حتى صار عددُ من يموت في كل يومٍ بالقاهرة فوق الألف ثم تزايد !
“Dan ini juga terjadi pada zamanku, ketika terjadi wabah Tho’un pertama kali pada tanggal 27 bulan Rabiul Akhir Tahun 833 Hijriyah. Pada saat itu yang meninggal dunia tidak sampai 40 orang. Lalu mereka keluar ke padang pasir pada tanggal 4 Jumadil Ula; setelah dianjurkan sebelum berkumpul untuk melaksanakan puasa 3 hari – seperti halnya ketika mau shalat Istisqa’ (meminta hujan)-. Akhirnya (pada hari keempat) mereka berkumpul dan berdoa selama satu waktu kemudian mereka kembali ke rumah masing masing. Dan tidak melewati bulan ini (tidak sampai sebulan) kecuali yang meninggal dunia di Kairo setiap harinya lebih dari 1000 orang kemudian bertambah banyak lagi.”
Ini juga gara-gara ada kerumunan banyak orang, bercampurnya orang yang sakit dengan orang yang sehat sehingga dengan izin Allah terjadi penularan di tengah kumpulan orang yang berjumlah besar itu.
Hingga beliau akhirnya berkata (hal 330):
لو كان مشروعاً فِعلُهم ما خفيَ على السلف ثم على فقهاء الأمصار وأتباعِهم في الأعصارِ الماضية ، فلمْ يبلغْنا في ذلك خبرٌ ولا أثرٌ عن المحدِّثين ، ولا فرعٌ مسطورٌ عن أحدٍ من الفقهاء .
“Seandainya hal itu disyariatkan atas mereka niscaya tidak akan samar atas para Salaf kemudian atas para fuqaha di seluruh kota-kota besar, atas para pengikut mereka di masa-masa terdahulu. Jadi tidak sampai kepada kita berita atau riwayat dari para ahli hadis, juga tidak ada far’ (satu cabang pembahasan) yang tertulis dari salah seorang ulama ahli fikih.” Lihat kutipan ini oleh Masyhur Hasan Salman dalam Hukm al-Tada’I Li Fi’l al-Tha’at Fi al-Nawazil wa al-Syadaid wa al-Mulimmat –Ahdats Ghazzah al-Akhirah namudzajan– hal. 17-21)
Pada zaman sebelumnya juga tercatat ada wabah besar pada tahun 448 H. Imam Dzahabi menulis: “Di tahun 448 telah terjadi paceklik hebat di Mesir dan Andalus. Tidak pernah diketahui ada kekeringan dan wabah yang semisal itu di Kordova, hingga masjid-masjid ditutup tanpa ada orang yang shalat. Tahun itu disebut ‘Am al-Ju’ al-Kabir” (Tahun kelaparan besar” (Al-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’ (18/311).
Syariat Islam sangat menginginkan umatnya terhindar dari barang haram atau mara bahaya, melebihi tuntutannya untuk melakukan tugas kewajiban. Imam Suyuthi berkata dalam al-Kawkab al-Sathi’ Nazhm Jam’ al-Jawami’ (h. 154) mengatakan:
فالتَّرْكُ لِلْحَرَامِ إِنْ تَعَذَّرَا … إِلا بِتَرْكِ غَيْرِهِ حَتْمًا يُرَى
“Meninggalkan yang haram, jika sulit terlaksana kecuali dengan meninggalkan selainnya maka hal itu dipandang pasti.”
Oleh karena itu ketika syariat mengharamkan memakan bangkai, maka syariat menghalalkannya bagi orang yang darurat. (QS. Al-Baqoroh: 173) ini adalah kedudukan haram pada saat darurat, lalu bagaimana kedudukan wajib pada saat darurat, bukankah lebih berhak untuk mendapatkan rukhshah?
Oleh karena itu kaidah-kaidah syar’iyyah berjalan beriringan dengan maqashid kulliyyah, sehingga masyaqqah mendatangkan kemudahan, dan al-dharar itu dihilangkan.
Oleh karena itu syariat mengizinkan tidak hadir dari shalat berjamaah dan dari jum’ah karena ada dharar yang jauh lebih ringan dari pada wabah, seperti adanya angin kencang yang dingin, gelap, hujat lebat, lumpur dan sejenisnya. Maka pada saat malam yang hujan atau dingin muadzin Rasul ﷺ dalam adzannya mengatakan:
أَلاَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
“Shalatlah di rumah-rumah kalian.” (HR. Muttafaq alaih)
Diantara udzur tidak hadir jamaah yang dinyatakan langsung oleh Rasulullah ﷺ adalah takut dan sakit. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ، فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنِ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ،
“Barang siapa mendengar adzan, dan tidak ada udzur untuk mengikutinya (mendatanginya) (lalu dia shalat sendiri) maka tidak ada shalat (sempurna) baginya.”
Mereka bertanya: udzur itu apa wahai Rasulullah ﷺ? Beliau bersabda:
خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ
“Rasa takut dan sakit.” (HR. Hakim dari Ibn Abbas)
Ibnu Abdil Barr al-Maliki mensyarah:
فَالْعُذْرُ يَتَّسِعُ اْلقَوْلُ فِيْهِ، وَجُمْلَتُهُ كُلُّ مَانِعٍ حَائِلٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمْعَةِ، مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ أَوْ يَخَافُ عُدْوَانَهُ، أَوْ يُبْطِلُ بِذَلِكَ فَرْضاً لَا بُدَّ مِنْهُ، فَمِنْ ذَلِكَ السُّلْطَانُ الْجَائِرُ يِظثلءمٍ، وَالْمَطَرُ اَلْوَابِلُ الْمُتَّصِلُ، وَالْمرَضُ الْحَابِسُ، وَمَا كَانَ مِثْلُ ذَلِكَ
“Udzur disini panjang penjelasannya, intinya: setiap yang menghalangi antara dirinya dan jumat, dari hal-hal yang ia terganggu dengannya, atau khawatir permusuhannya, atau yang membatalkan suatu fardhu yang tidak bisa dielakkan. Diantaranya adalah penguasa yang lalim dan zhalim, hujan lebat yang terus mengguyur, sakit yang menahan, dan apa saja yang semisal dengan itu.” (al-Tamhid, 16/243)
Ibnu Qudamah al-Hanbali juga mengatakan:
“Orang yang tidak dimaklumi (tidak diterima udzurnya) untuk tidak menghadiri keduanya (jamaah dan jum’ah) adalah karena sabda Nabi ﷺ: “Udzur itu adalah rasa takut dan sakit”. Rasa takut ada 3 macam: takut atas dirinya (jiwanya), takut atas harta, takut atas keluarga. Yang pertama, takut atas dirinya terhadap penguasa yang menangkapnya, atau musuh, atau pencuri atau hewan buas, atau hewan melata, atau banjir, dan sejenis dengan itu dari hal-hal yang menyakiti dirinya.” (al-Mughni 1/451)
Bahkan beliau berkata:
“وَلَا تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى مَنْ فِي طَرِيْقِهِ إِلَيْهَا مَطَرٌ يَبُلُّ الثِّيَابَ، أَوْ وَحْلٌ يَشُقُّ الْمَشْيُ إِلَيْهَا فِيْهِ… وَلِأَنَّهُ عُذْرٌ فِي الْجَمَاعَةِ، فَكَانَ عُذْرًا فِي الْجُمْعَةِ، كَالْمَرَضِ، وَتَسْقُطُ الْجُمْعَةُ بِكُلِّ عُذْرٍ يُسْقِطُ الْجَمَاعَةَ”
“Tidak wajib shalat jumat orang yang dijalannya menuju jumat ada hujan yang membasahi baju, atau lumpur yang sulit dilalui,… sebab ia adalah udzur untuk berjamaah maka juga udzur untuk shalat jum’ah, seperti sakit. Shalat jum’ah gugur karena udzur yang menggugurkan shalat jamaah.” (al-Mughni, 2/252)
Ibnu Abbas berkata kepada muadzinnya pada saat hujan lebat:
إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ، فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا! قَالَ: فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمْعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ
“Jika kamu sudah mengatakan: asyhadu anna muhammadan Rasulullah, maka jangan mengatakan hayya alashsholah, tetapi katakan: shallu fi buyutikum (shalatlah di rumah-rumah kalian). Maka orang-orang seolah (merasa heran) mengingkari maka dia (ibn Abbas) berkata: ini sudah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (maksudnya Rasulullah ﷺ). Sesungguhnya jumat itu adalah wajib, dan saya tidak ingin menyulitkan kalian, sehingga kalian harus berjalan di lumpur dan jalan yang licin”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian bisa kita fahami bahwa wabah virus apalagi sudah menjadi pandemi global ini di kawasan yang terinfeksi dan dinyatakan sebagai zona merah dan setiap penduduknya berstatus ODR (Orang dalam Risiko) maka keadaan darurat ini menjadi udzur untuk tidak mendatangi shalat jamaah atau jumah. Bahkan takmir pun boleh untuk meniadakan keduanya dan mengganti adzan dengan “shollu fi buyutikum’.
Usaha tinggal di rumah, dan tidak mendatangi jamaah atau jum’ah ini tidak bertentangan dengan tawakkal, sebab ia termasuk usaha yang disyariatkan, yaitu lari dan menghindari penyakit yang bisa menular. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Pasal tentang petunjuk Nabi ﷺ dalam menghindari penyakit-penyakit yang bersidat menular, dan menganjurkan orang-orang sehat agar menjauhi orang-orang terinfeksi.” Di bab ini beliau menyebutkan sejumlah petunjuk Nabi ﷺ dalam bermu’amalah dengan penyakit-penyait menular.
Oleh karena itu salaf shalih pada saat masjid ditutup atau tidak memungkinkan ke masjid, mereka shalat dan sibuk beribadah di rumah.
Imam Masruq –seorang tabi’in, masuk Islam di zaman Nabi, bermulazamah dengan Ummul Mukminin Aisyah عنها رضي الله, kemudian menjadi Mufti Kufah- rahimahullah, kemudian menjauhi fitnah saat Khalifah Usman dibunuh tahun 35 H, Masruq wafat 62 H, pada saat terjadi Tha’un (di Kufah) dia lari dari tha’un dengan cara berdiam diri di rumahnya di hari-hari tha’un itu (tahun 50 H)[4]. Dia berkata: “Ini hari-hari sibuk maka saya senang menyepi untuk beribadah.” Dia mengambil satu tempat di rumah lalu menyendiri untuk beribadah. Istrinya mengatakan:
فَرُبَّمَا جَلَسْتُ خَلْفَهُ أَبْكِي مِمَّا أَرَاهُ يَصْنَعُ بِنَفْسِهِ. قَالَتْ وَكَانَ يُصَلِّي حَتَّى تَوَرَّمَ قَدَمَاهُ
“Terkadang aku duduk di belakangnya menangis karena melihat yang ia lakukan, ia shalat hingga bengkat kedua kakinya.” Istrinya mengatakan: Saya mendengarnya mengatakan:
“Thaun, penyakit perut, nifas (melahirkan) dan tenggelam, barang siapa meninggal di dalamnya dalam keadaan muslim maka baginya adalah kesyahidan.” (Ibn Saad, al-Thabaqat al-Kubra, 6/143)
Saya menulis ini bukan untuk menakut-nakuti, karena memang takut itu harus dihindari khususnya yang berlebihan, sebab hal itu akan negatif yaitu menurunkan daya tahan tubuh kita. Juga takut yang menimpa seorang muslim itu menyenangkan setan sebab salah satu misi setan adalah membuat kita ketakutan dan sedih berlebihan. Syaikh Muhammad Anwar Syah berkata: Dalam satu hadis –menurut saya sanadnya lemah- bahwa jin berkeliaran di hari-hari wabah tha’un, mereka menekan (menusuk) maghabin (paha bagian dalam) manusia, oleh karena itu orang-orang melihat mimpi yang membuat mereka takut dan bersedih.” (Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri al Diyobandi w. 1353, Faidh al-Bari ‘Ala Shahih al-Bukhari, 6/57).
Saya menulis ini juga bukan dalam rangka senang atas penutupan masjid-masjid atau orang-orang yang tidak menghadiri jamaah dan jumah, tetapi saya menulis untuk mengikuti dalil-dalil yang ada agar tidak ada orang yang mencibir orang yang mengambil rukhshah (kemurahan Allah) dengan tidak hadir di shalat jamaah atau jumat di zaman wabah karena takut terkena bahaya (terinfeksi), juga agar tidak menyalahkan takmir yang menutup masjid dari masyarakat umum karena ingin menjaga jiwa manusia agar tidak tertular wabah yang ganas ini.
Selain itu semua tentunya tulisan semacam ini akan memberikan pencerahan dan pembuktian bahwa agama Islam adalah agama rahmat, agama lengkap, agama dari Allah ﷻ yang syariatnya relevan di segala zaman.
Terakhir saya memberikan motovasi dan optimisme. Al-Hafiz Ibn Hajar menjelaskan bahwa “kebanyakan tha’un (wabah penyakit menular) itu terjadi di negeri-negeri kaum muslimin sepanjang sejarahnya, terjadi di musim semi setelah musim dingin, kemudian terangkat hilang di awal musim panas. “ (Badzl al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un, 369).
Nah sekarang kita berada di musim hujan, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa musim Kemarau akan mulai bulan April 2020, dan Puncak Musim ada pada bulan Agustus. Semoga saja di awal musim panas wabah covid-19 diangkat dan dihilangkan oleh Allah maksimal bulan depan Insyaallah lebih awal dari yang diprediksi sebagian peneliti yaitu di awal Juni. Allahumma aamiin.[5]
(لا يورد ممرض على مصح) مفعول يورد محذوف أي لا يورد إبله المراض قال العلماء الممرض صاحب الإبل المراض والمصح صاحب الإبل الصحاح فمعنى الحديث لا يورد صاحب الإبل المراض إبله على إبل صاحب الإبل الصحاح] ↑
Ibn Hajar, Fathul bari, 10/241. ↑
Lihat Abu Sulaiman al-Khaththabi, Ma’alim al-Sunan, 4/233; Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, 21/288. ↑
Imam Nawawi berkata: “Thaun terjadi di Kufah tahun 50 H, yang meninggal di dalmnya Mughirah bin Syu’bah ra. Lihat Dr. Musa Syahin Lasyin, Fath al-Mun’im Sharah Shahih Muslim, 8/602. ↑
Saat makalah ini saya tulis 25 Maret 2020, jumlah kasus 790, jumlah yang meninggal 58. Sementara di dunia, jumlah kasus 438,749, dan yang meninggal 19,675. Jumlah Negara yang mengalami serangan covid-19 ini 172 negara dari 195 negara di dunia. ↑
نحبك في الله يا أستاذي وشيخي
MasyaAlloh sangat bermanfaat ustadz barokallohufikum
Mencerahkan
كتاب الطاعون وأحكامه، لشمس الدين المنبجي الحنبلي
ت:٧٨٥هـ، ألفه في طاعون سنة(764هـ)، حققه أحمد بن محمد بن غانم آل ثاني، روايا للدراسات والبحوث، ودار ابن حزم، وهو من مصادر ابن حجر في بذل الماعون وأكثر من النقل عنه.
Kitab Imam al Munbaji yang dikutip Ibmu Hajar