Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Saya minta maaf kalau komentar anda tidak termuat. Saya tidak tahu apa sebabnya, tapi seingat saya belum pernah admin menyerahkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini kepada saya.
Berikut pertanyaan-pertanyan dari seorang komentator :
“Bapak Abu Hamzah, saya adalah seorang yang sedang belajar tentang Islam. Saya anak muda yang lahir dan tumbuh dari kalangan Nahdliyyin, dan saya terbuka dengan segala macam pemikiran, karena itu yang diajarkan oleh ulama kami di NU. saya tertarik dengan ulasan Bapak. namun, ada beberapa hal yang menurut saya perlu Bapak klarifikasi lagi:
1. Bapak katakan :
“Bid’ah secara bahasa adalah membuat hal baru tanpa ada contoh sebelumnya. Hal baru ini ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyiah (buruk). Persis sebagaimana sunnah, secara bahasa sunnah adalah thariqah dan sirah (jalan atau cara yang ditempuh), maka secara bahasa, ada sunnah hasanah dan ada sunnah sayyiah, ada sunnah Nabi dan ada sunnah selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”.
Sunnah Hasanah adalah sunnahnya Nabi, sedang sunnah sayyiah adalah sunnahnya bukan nabi. Lalu: Bid’ah hasanah itu bid’ah-nya siapa? yang sayyiah bid’ahnya siapa?
Jawab :
Kedua: pertanyaan anda sudah ada jawabannya dalam kutipan poin kedua:
“Namun secara istilah yang dimaksud dengan sunnah adalah sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan yang dimaksud dengan bid’ah adalah hal baru yang menyalahi Sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu secara istilah, setiap sunnah itu hasanah dan setiap bid’ah itu sayyiah”.
2. Bapak katakan:
“Namun secara istilah yang dimaksud dengan sunnah adalah sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan yang dimaksud dengan bid’ah adalah hal baru yang menyalahi Sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu secara istilah, setiap sunnah itu hasanah dan setiap bid’ah itu sayyiah”.
Jawab :
Ketiga : ukuran benar itu syara’ (kitabullah wa sunnatu Rasulih). Apa saja yang sesuai dengan syariat maka itu masyru’ bukan mamnu’, apakah hal itu terjadi sepeninggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau baru terjadi sekarang atau di masa yang akan datang. Jadi kalau ada hal baru sesuai dengan syara’ maka hal itu itu bukan masuk dalam istilah bid’ah.
Imam Nawawi berkata tentang sebagian bid’ah dhalalah yang sekarang ini biasa dilakukan oleh kaum kuburiyyah. Beliau berkata:
المجموع – (ج 8 / ص 275)
وقال الفضل ابن عياض رحمه الله ما معناه اتبع طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته لان البركة إنما هي فيما وافق الشرع وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب؟!
“Al-Fudhail ibn Iyadh rahimahullah berkata yang artinya: ikutilah jalan-jalan hidayah dan tidak membahayakanmu sedikitnya orang-orang yang meniti (jalan itu). Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan jangan terkecoh dengan banyaknya orang-orang yang binasa. Barang siapa terlintas di benaknya bahwa mengusap-usap (kubur) dengan tangannya atau sejenisnya itu lebih mengena dalam keberkahan maka itu berasal dari kebodohannya dan kelalaiannya, karena barokah itu ada dalam apa yang sesuai dengan syariat. Bagaimana boleh ada keutamaan dalam menyalahi kebenaran?!!”
حاشية الجمل – (ج 9 / ص 353) ص 354)
وَيُكْرَهُ مَسْحُهُ بِالْيَدِ وَتَقْبِيلُهُ بَلْ الْأَدَبُ أَنْ يَبْعُدَ عَنْهُ كَمَا يَبْعُدُ مِنْهُ لَوْ حَضَرَ فِي حَيَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا هُوَ الصَّوَابُ وَهُوَ الَّذِي قَالَهُ الْعُلَمَاءُ وَأَطْبَقُوا عَلَيْهِ وَيَنْبَغِي أَنْ لَا يُغْتَرَّ بِكَثِيرٍ مِنْ الْعَوَامّ فِي مُخَالَفَتِهِمْ ذَلِكَ
فَإِنَّ الِاقْتِدَاءَ وَالْعَمَلَ إنَّمَا يَكُونُ بِأَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ وَلَا يُلْتَفَتُ إلَى مُحْدَثَاتِ الْعَوَامّ وَجَهَالَاتِهِمْ وَلَقَدْ أَحْسَنَ السَّيِّدُ الْجَلِيلُ أَبُو عَلِيٍّ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ فِي قَوْلِهِ مَا مَعْنَاهُ اتَّبِعْ طُرُقَ الْهُدَى وَلَا يَضُرَّك قِلَّةُ السَّالِكِينَ وَإِيَّاكَ وَطُرُقَ الضَّلَالَةِ وَلَا تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِينَ وَمَنْ خَطَرَ بِبَالِهِ أَنَّ الْمَسْحَ بِالْيَدِ وَنَحْوِهِ أَبْلَغُ فِي الْبَرَكَةِ فَهُوَ مِنْ جَهَالَتِهِ وَغَفْلَتِهِ ؛ لِأَنَّ الْبَرَكَةَ إنَّمَا هِيَ فِيمَا وَافَقَ الشَّرْعَ وَأَقْوَالَ الْعُلَمَاءِ وَكَيْفَ يَنْبَغِي الْفَضْلُ فِي مُخَالَفَةِ الصَّوَابِ ا هـ .
Dalam hasyiah al-Jamal dikatan: dan dibenci mengusapnya dengan tangan dan menciumnya bahkan tatakeramanya adalah menjauh darinya sebagaimana menjauh darinya seandainya ia hadir pada masa hidup Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini adalah yang benar. Ini yang dikatakan oleh para ulama dan mereka bersepakat atasnya. Maka seyogjanya tidak boleh tertipu dengan banyaknya orang awam dalam menyalahi hal itu, sebab berteladan dan beramal itu ada dengan mengikuti ucapan para ulama dan tidak menoleh kepada bid’ah-bid’ahnya orang awam dan kebodohan mereka. Sungguh telah bagus as-sayyid yang agung abu ali alFudhail ibn iyadh dalam ucapannya yang artinya: ikutilah jalan-jalan hidayah dan tidak membahayakanmu sedikitnya orang-orang yang meniti (jalan itu). Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan jangan terkecoh dengan banyaknya orang-orang yang binasa. Barang siapa terlintas di benaknya bahwa mengusap-usap (kubur) dengan tangannya atau sejenisnya itu lebih mengena dalam keberkahan maka itu berasala dari kebodohannya dan kelalaiannya, karena barokah itu ada dalam apa yang sesuai dengan syariat dan ucapan para ulama. Bagaimana boleh ada keutamaan dalam menyalahi kebenaran?!!”
Di tempat lain dalam Hasyiah al-Jamal juga disebutkan hal yang sama:
حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري – (ج 5 / ص 58)
قالوا ويكره مسحه باليد وتقبيله بل الأدب أن يبعد عنه كما يبعد منه لو حضر في حياته {صلى الله عليه وسلم} هذا هو الصواب وهو الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه وينبغي أن لا يغتر بكثير من العوام في مخالفتهم ذلك فإن الاقتداء والعمل إنما يكون بأقوال العلماء ولا يلتفت إلى محدثات العوام وجهالاتهم ولقد أحسن السيد الجليل أبو علي الفضيل بن عياض في قوله ما معناه اتبع طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته لأن البركة إنما هي فيما وافق الشرع وأقوال العلماء وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب ا ه
Sementara imam Ahmad ibn Husain ibn Ruslam al-Syafi’I (773-844) dalam matan Zubad mengatakan:
أمـا الصحـيـحُ فــي العِـبَـاداتِ فـمـا وافَـــقَ شَـــرْعَ اللهِ فـيـمَــا حَـكَـمَــا
“Adapun yang benar dalam ibadah itu adalah apa yang sesuai dengan syariat dalam apa yang ia telah menghukuminya.”
Apa yang membuat Bapak sampai pada kesimpulan bahwa yang hasanah itu sunnah, sedang yang sayyiah itu bid’ah? Definisi istilahi Bapak menurut saya arbitrer tanpa disertai argumen ataupun dalil yang memadai. Mohon maaf pak, model penjelasan semacam itu sulit dicerna oleh akal saya. karena antara yang di atas dengan yang dibawahnya sama sekali tidak menunjukkan ketersambungan.
Jawab :
Keempat : dalam istilah syariat sunnah itu pasti baik dan bid’ah itu pasti buruk. Setiap yang baru dalam urusan agama secara bahasa disebut adalah bid’ah atau muhdats, setelah dilihat dan dipelajari, jika ia ia memang menyalahi syariat maka ia layak tetap disebut bid’ah, yaitu bid’ah dhalalh, bid’ah mukhalifah lis-syari’ah.
Namun jika dia tidak menyalahi syariat maka tidak lagi tercela, karena tidak tercela maka tidak menggunakan istilah bid’ah, melainkan ikut hukum syar’i yang wajib atau mandub atau mubah.
Model penjelasan ini mudah dan lumrah. Jika dalam pikiran anda masih belum nyambung maka renungkan kembali makalah saya.
3. Bapak katakan:
“Apa yang dilakukan oleh Imam syafi’i sah dalam agama Islam, tidak ada larangan sama sekali. Siapa pun dari kita boleh menulis di mukaddimah khutbah atau kitab tahmid dan shalawat dari rangkaian sendiri asal isinya tidak bertentangan dengan syara’”.
Ini pula yang selama ini dipahami oleh orang-orang NU pak. Kita diperbolehkan melakukan hal-hal baru (bid’ah) asal tidak melanggar rambu-rambu syari’ah (hasanah). Jadi apa bedanya pemahaman Bapak dengan pemahaman orang-orang NU?
Jawab:
Kelima: jika memang anda menjadikan syariat sebagai tolak ukur kebenaran, apa yang sesuai itu benar dan melanggar itu sesat maka anda dan saya sama, NU dan lainnya dari Ormas ahlussunnah sama. Hanya saja perlu konsisten dalam memegangi prinsip tersebut. Yaitu benar-benar menjadikan syariat sebagai dalil, bukan hawa nafsu atau tradisi orang awam dan taklid buta.
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع – (ج 1 / ص 3)
وعن ابن عمر رضي الله عنه، قال: كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة.
Sahabat Ibnu Umar berkata: setiap bid’ah itu sesat meskipun dipandang baik oleh manusia.”
Berikut beberapa contoh bid’ah dhalalah:
Shalat malam nishdu sya’ban
Misal shalat lailah nishfu sya’ban, banyak orang menganggapnya baik, tetapi menurut dalil syar’i ia adalah bid’ah dhalalah:
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع – (ج 1 / ص 17)
ليلة النصف من شعبان
وأما ليلة النصف من شعبان، فلها فضل، وإحياؤها بالعبادة مستحب، ولكن على الانفراد ومن غير جماعة. واتخاذ الناس لها ولليلة الرغائب موسماً وشعاراً بدعة مكروهة، وما يزيدونه فيها على الحاجة والعادة من الوقيد ونحوه فغير موافق للشريعة.
Imam suyuthi berkata:
“adapun malam nishfu sya’ban maka ia memiliki keutamaan, dan menghidupkannya secara sendiri-sendiri adalah dianjurkan, tanpa berjama’ah. Sedangkan perbuatan orang-orang menjadikannya dan menjadikan malam raghaib sebagai musim dan syiar maka itu bid’ah makruhah (yang dibenci). Dan apa yang mereka tambahkan di dalamnya di atas kebutuhan dan kebiasaan seperti menyalakan lampu dan sejenisnya maka itu tidak sesuai dengan syariat.
Api unggun malam nishfu sya’ban:
Imam suyuthi melanjutkan dengan membicarakan menyalakan lampu di malam nishfu sya’ban:
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع – (ج 1 / ص 18)
الوقيد ليلة النصف من شعبان
ثم قال رحمه الله: مما أحدثه المبتدعون وخرجوا به عما رسمه المشرعون رجوعاً فيه على سنن المجوس، واتخذوا دينهم لهواً ولعباً: الوقيد ليلة النصف من شعبان، ولم يصح فيه شيء عن رسول الله (، ولا نطق بالصلاة فيها والإيقاد فيها ذو صدق من الرواة، وما أحدثه إلا متلاعب بالشريعة المحمدية وراغب في دين المجوسية، لأن النار معبودهم، وأول ما حدث ذلك في زمن البرامكة فدخلوا في دين الإسلام يموهون به على الطعام وهو يعلم الإيقاد في ليلة النصف من شعبان كأنه سنة من السنن،ومقصودهم عبادة النيران وإقامة دينهم، وهو أخس الأديان إذا صلى المسلمون فركعوا وسجدوا، وكان ذلك إلى النار التي أوقدوا ومضت على ذلك السنون والأعصار وتبعت بغداد فيه سائر الأمصار. وهذا مما يجتمع في تلك الليلة من الرجال والنساء واختلاطهم فالواجب على السلطان منعهم، وعلى العالم ردعهم، وإنما شرف شعبان: أن رسول الله ( كان يصومه إلا قليلاً.
Adapun yang diada-adakan oleh ahli bid’ah dan karena mereka keluar dari apa yang digariskan oleh syara’ (Allah dan Rasul-Nya) karena kembali mengikut tradisi majusi, dan menjadikan agama mereka sebagai kesia-siaan dan permainan yaitu menyalakan api di malam nisfhu sya’ban maka tidak shahih sedikitpun dari nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak seorangpun perawi yang menyebut shalat di dalamnya maupun memasang lampu (api) di dalamnya. Tidaklah mengada-adakan hal itu kecuali kecuali orang yang mempermainkan syariat muhammadiyyah dan menyukai agama majusi, karena api adalah sesembahan mereka. Pertama kali itu terjadi adalah pada masa baramikah. Mereka masuk islam dan mengelabuhinya atas makanan, dan dia tahu menyalakan api di malam nishfu sya’ban seolah-olah ia adalah salah satu dari sunnah. padahal maksud mereka adalah menyembah api dan menegakkan agama nereka, yaitu agama yang paling rendah. Jika orang islam shalat lalu rukuk dan sujud, hal itu adalah menghadap api yang mereka nyalakan. Hal ini berlangsung bertahun-tahun di kota-kota, lalu Baghdad mengiikuti kita-kota itu. Ini diantara yang berkumpul di malam itu antara laki-laki dan perempuan dan ikhthilat) campur baur mereka) maka kewajiban sultan adalah melarang mereka, dan kewajiban alim adalah mencegah mereka. Sesungguhnya kemuliaan sya’ban adalah karena rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam puasa bulan sya’ban kecuali sedikit.”
Sampai imam suyuthi berkata:
… وكل بدعة ضلالة، وكل اجتماع يتكرر بتكرر الأسابيع والشهور والأعوام غير الاجتماعات المشروعة هو المبتدع، ففرق بين ما يفعل من غير ميعاد وبين ما يتخذ سنة وعادة؛ فإن ذلك يضاهي المشروع وقد كره ابن مسعود وغيره من الصحابة اعتياد الاجتماع في مكان مخصوص، وهو المنصوص عن أحمد أنه، قيل له: تكره أن يجتمع القوم يدعون الله تعالى ويرفعون أيديهم؟ فقال: ما أكره للإخوان إذا لم يجتمعوا على عهد إلا أن يكثروا. وأصل هذا أن العبادات المشروعة التي تتكرر بتكرر الأوقات حتى تصير سنناً ومواسم، قد شرع الله منها ما فيه كفاية المتعبد، فإذا أُحدث اجتماع زائد كان مضاهاة لما شرعه الله تعالى وسنة رسوله، وفيه من المفاسد ما تقدم التنبيه عليه، بخلاف ما يفعله الرجل وحده أو الجماعة المخصوصة أحياناً، أو نحو ذلك يفرق بين الكبير الظاهر، والقليل الخفي، والمعتاد وغير المعتاد، وكذلك كل ما كان مشروع الجنس، لكن البدعة فيما اتخاذه عادة لازمة حتى يصير كأنه واجب.
Berkumpul di sore hari arafah untuk berdoa bersama:
Kemudian imam suyuthi juga menjelaskan bahwa di antara bid’ah sesat adalah berkumpul di hari arafah setelah shalat ashar untuk berdoa
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع – (ج 1 / ص 19)
ومن ذلك التعريف المحدث. قال ابن وهب: سمعت مالكاً يسأل عن جلوس الناس في المسجد عشية عرفة بعد العصر واجتماعهم للدعاء، فقال: ليس هذا من أمر الناس، وإنما مفاتيح هذه الأشياء من البدع. وقال مالك في العشية: وأكره أن يجلس أهل الآفاق يوم عرفة في المساجد للدعاء، ومن اجتمع إليه الناس فلينصرف في مقامه، ومقامه في منزله أحب إليه، فإذا حضرت الصلاة رجع فصلى في المسجد، وروى محمد بن وضاح: أن الناس اجتمعوا بعد العصر من يوم عرفة في مسجد النبي ( يدعون، فخرج نافع مولى ابن عمر فقال: يا أيها الناس، إن الذي أنتم فيه بدعة، وليست بسنة، أدركت الناس ولا يصنعون هذا.
قال مالك بن أنس: ولقد رأيت رجالاً ممن يقتدى بهم يتخلفون في بيوتهم عشية عرفة، ثم قال: ولا أحب الرجل العالم أن يقعد في المسجد تلك العشية إذا أرادوا أن يقتدوا به وليقعد في بيته.
وقال الحارث بن سكن: كنت أرى الليث بن سعد ينصرف بعد العصر يوم عرفة فلا يرجع إلا قرب المغرب.
وقال إبراهيم النخعي: الاجتماع يوم عرفة أمر محدث.
وقال عطاء الخراساني: إن استطعت أن تخلو عشية عرفة بنفسك فافعل.
Membungkuk dalam menghormat
Kemudian imam suyuthi menerangkan bid’ah membungkuk dalam menghormat:
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع – (ج 1 / ص 29)
بدعة الانحناء
وقد يزيد بعض الجاهلين والعلماء والغافلين عن السنة على هذه البدعة أمراً منكراً، وهو الانحناء، وهو أمر منهي عنه، فروى الترمذي، عن أنس رضي الله عنه، قال: ” سمعت رجلاً يقول لرسول الله) : يا رسول الله، الرجل يلقى أخاه أو صديقه أينحني له؟ قال: ” لا ” ، قال أفيلتزمه ويقبله؟ قال: ” لا ” قال: أيأخذه بيده ويصافحه؟ قال: ” نعم ” .
وروى الترمذي رضي الله عنه، عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده رضي الله عنهم، قال: قال رسول الله) : ” ليس منا من تشبه بغيرنا، لا تشبهوا باليهود ولا بالنصارى، فإن تسليم اليهود الإشارة بالأصابع، وتسليم النصارى الإشارة بالأكف ” .
فالسلام واستخراج الحمد، والثناء بعد السلام، والمصافحة من تمام التحية، وهي من السنن وأفعال السلف الصالحين من الصحابة والتابعين؛ لما روى البخاري في صحيحه، عن قتادة، قال: قلت لأنس بن مالك: كانت المصافحة في أصحاب النبي (؟ قال: نعم.
وروى الترمذي، عن ابن مسعود، عن النبي (، قال: ” إذا التقى المسلمان فتصافحا وحمدا الله واستغفراه غفر لهما ” .
Meyakini adanya Hari naas/sial/tidak baik:
Imam Ibn Hajar al-Haitami al-Makki dalam fatawa haditsiyyah 28 ditanya tentang adanya hari naas dan hari bahagia, yang layak untuk dilakukan safar, pindahan dlsb. Maka dia menjawab:
Orang yang bertanya tentang hari naas dan sesudahnya tidak dijawab kecuali dengan berpaling dari padanya, dan membodoh-bodohkan apa yang ia lakukan serta menjelaskan keburukannya, bahwa hal itu adalah termasuk “sunnah yahudi” bukan petunjuk kaum muslimin yang bertawakkal kepada tuhan pencipta dan pengatur mereka, yaitu orang-orang yang tidak berhitung (termasuk dengan hitungan wethon,pent) dan kepada tuhan mereka mereka bertawakkal. Adapun apa yang dikutip dari imam Ali kw tentang hari-hari sial maka itu adalah batil, dusta tidak ada dasarnya. Maka hendaklah waspada terhadap hal itu. Wallahu a’lam.
Yang aneh, hal ini juga sudah diputuskan (lihat di Bahsul Mail NU 42) namun tidak mendengar sosialisasinya, bahkan yang medukun pun tidak jarang mengaku atau dikenal sebagai kyai.
Berdiri saat maulid nabi
Kiyam mawlid 80
Kumpul-kumpul di rumah duka/ di rumah ahli mayit setelah dikuburkannya jenazah, itu termasuk niyahah (meratap) (apakah hari pertama sampai ke 7, hari ke 40, hari ke100, hari pendak setahun, haul setiap tahun): itu bid’ah madzmumah (tercela), bid’ah munkar, yang diberi pahala orang yang melarangnya
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 165)
ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 165)
الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 166)
وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.
روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.
Baca masalah keagamaan Hasil Bahtsul Mail NU, no 18 hal. 12-14)
Jangan lupa untuk membaca Muallaf menggugat selamatan, hal. 70-71)
Bid’ah Membangun kuburan orang shalih
Imam syafi’i dalam membenci dan mengingkari kemunkaran ini karena bebarap dalil dan alasan:
الأم – (ج 1 / ص 463)
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والأنصار مجصصة ( قال الراوي ) عن طاوس : [ أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى أن تبنى القبور أو تجصص ] قال الشافعي : وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
الأم – (ج 1 / ص 463)
أخبرنا مالك أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : [ قاتل الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد لا يبقى دينان بأرض العرب ] ( قال ) : وأكره هذا للسنة والآثار وأنه كره والله تعالى أعلم أن يعظم أحد من المسلمين يعني : يتخذ قبره مسجدا ولم تؤمن في ذلك الفتنة والضلال على من يأتي بعد فكره والله أعلم
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع – (ج 1 / ص 12)
الشافعي رضي الله عنه أنه قال: وأكره أن يعظم مخلوق حتى يجعل قبره مسجداً مخافة الفتنة عليه من بعده من الناس. وقد نص النبي ( على العلة بقوله: ” اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد ” ويقول: ” إن من كان قبلكم كانوا يتخذون القبور مساجد، فلا تتخذوا القبور مساجد، ولا تجلسوا عليها ” الحديث المتقدم. وأخبر ( أن الكفار ” كانوا إذا مات فيهم الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً، وصوروا فيه تلك التصاوير، أولئك شر الخلق عند الله يوم القيامة ” فجمع ( بين التماثيل وبين القبور. وأيضاً فإن الّلات كان سبب عبادتها تعظيم قبر رجل صالح كان هناك يلت السويق بالسمن ويطعمه للحاج، فلما مات عكفوا على قبره. وقد ذكروا أيضاً أن وداً، وسواعاً، ويغوث، ويعوق، ونسراً، قوم صالحون كانوا بين آدم ونوح عليهما السلام، وكان لهم اتباع يقتدون بهم، فلما ماتوا قال أتباعهم: لو صورنا صورهم. فلما مات الأتباع، وجاء بعدهم قوم آخرون، أتاهم إبليس، فقال: إنما كان أولئك يعبدونهم، وبهم يُسقون المطر. فعبدوهم. وذكر ذلك محمد بن جرير الطبري بسنده. وهذه العلة التي لأجلها نهى الشارع ( هي التي أوقعت كثيراً من الأمم إما في الشرك الأكبر أو فيما دونه. ولهذا تجد أقواماً كثيرة من الضالين يتضرعون عند قبر الصالحين، ويخشعون، ويتذللون، ويعبدونهم بقلوبهم عبادة لا يفعلونها في بيوت الله المساجد، بل ولا في الاسحار بين يدي الله تعالى، ويرجون من الصلاة عندها والدعاء ما لا يرجونه في المساجد التي تشد إليها الرحال.
فهذه المفسدة هي التي حسم النبي ( مادتها حتى نهى عن الصلاة في المقبرة مطلقاً وإن لم يقصد المصلى بركة البقعة ولا ذلك المكان سداً للذريعة إلى تلك المفسدة التي من أجلها عبدت الأوثان. فأما إن قصد الإنسان الصلاة عندها، أو الدعاء لنفسه في مهماته وحوائجه متبركاً بها راجياً للإجابة عندها، فهذا عين المحادّة لله ولرسوله، والمخالفة لدينه وشرعه، وابتداع دين لم يأذن به الله ولا رسوله ولا أئمة المسلمين المتبعين آثاره وسننه.
Sekarang saya bertanya, apakah anda konsisten dengan definisi bid’ah? Apakah anda sama dengan saya bahwa hal-hal di atas adalah bid’ah dhalalah?
4. Bapak mengutip dari Imam Syafi’i:
“Apa saja yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau atsar atau Ijma’, maka ini adalah bid’ah dhalalah (tersesat).”
Pak, mengapa Imam Syafi’i repot-repot menyebut kata “Bid’ah dhalalah” jika semua bid’ah itu dhalalah? mengapa beliau tidak cukup menyebut kata bid’ah saja?
Jawab:
Keenam: jangan lupa, kan imam syafi’i sedang membagi bid’ah menjadi tercela dan terpuji? Lalu imam syafi’i menyebut ketentuan bid’ah dhalalah. Jadi imam syafi’i itu sudah benar. Kalau imam syafi’i ditanya apa itu bid’ah dhalalah maka beliau menjawab, yaitu:
ما حدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً
Ahmad ibn syihabuddin ibn hajar alhaitami al-makki menutol 280-281 fatawa hadtisiyyah:
مطلب: في أن البدعة الشرعية لا تكوم إلا ضلالة بخلاف اللغوية
Sub bahasan: bahwa bid’ah syar’iyyah itu tidak ada kecuali sesat berbeda dengan bid’ah lughawiyyah.”
Lalu dia mengutip sebagian ulama bahwa ucapan Umar “ni’matil bid’ah hadzihi” itu dia inginkan sebagai bid’ah lughawiyyah yaitu apa yang dilakukan tanpa ada missal sebelumnya. Bukan bid’ah syar’iyyaah karena bid’ah syar’iyyah adalah dhalalah sebagaimana sabda nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia berkata: barang siapa diantara ulama membagi bid’ah menjdi hasanah dan ghairu hasanah maka maksudnya ia sedang membagi bid’ah secara bahasa. Dan barang siapa mengatakan setiap bid’ah adalah sesat maka artinya adalah bid’ah syar’iyyah.
5. Bapak katakan:
“Yang saya katakan adalah “seperti membaca sholawat yang disusun oleh kalangan ulama shufi.” Sementara ibnu Mas’ud, Imam Syafi’i bukan ulama sufi, tetapi ulama ahlussunnah, jadi masalahnya jelas berbeda.”
Mengapa berbeda pak? substansinya kan sama. Hal baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah.
Jawab:
Ketujuh: Betul, sama sebagai hal baru tetapi beda sifatnya:
Shalawat ibn mas’ud dan imam syafi’i sesuai dengan sunnah nabi, artinya tidak menyalahi sedikitpun. Sementara shalawat shufi yang sudah saya contohkan beda; menyalahi syariat, dari sisi pembuatannya, kandungannya, keutamaannya yang diklaim, dan pengamalannya, serta keyakinan pengamalnya tentang shalawat tersebut.
Silakan bandingkan antara shalawat-shalawat itu di makalah saya.
selamat merenung!
Saya sangat menyesal Bapak menjawab masalah ini di sini. Mengapa Bapak tidak langsung menjawab pada saat Dialog saat itu juga? Mengapa pak? bukankah itu akan lebih baik, karena akan ada counter-argument sehingga masalahnya menjadi clear. Mohon kejujuran Bapak: Apakah Diamnya Bapak pada saat itu karena memang bapak tidak menguasai masalah? sebagaimana yang disangkakan oleh artikel di atas?
Jawab:
Kedelapan: saya sudah menjelaskan, tetapi mungkin yang terjadi sekarang ini. Saya sudah menjelaskan dengan gamblang tetapi anda tidak faham lalu berkeyakinan seolah saya tidak bisa menjawab atau belum bisa menjawab.
Tapi saya yakin, orang seperti anda insyaallah tidak sama dengan “anak yang bau kencur”.
Terima kasih pak. Mohon Bapak memberi penjelasan. Mohon maaf bila ada kata-kata yang membuat Bapak tidak berkenan”.
Jawab:
Kesembilan: Sama-sama, saya juga terima kasih kepada Anda yang sopan dan beri’tikad baik dalam pertanyan-pertanyaan ini. Semoga kita dijadikan sebagai ahli sunnah, pengikut Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, salaf shalih, yang konsisten dalam beramal, dan beramar ma’ruf nahi ‘anmil munkar.
Aamiin
9 dzulhijjah 1432 H.