Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Rendahnya Toleransi Intern Umat Islam
Agama memiliki kedudukan yang penting dalam pendidikan nasional. Dalam tujuan pendidikan nasional disebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU 20/2003, pasal 3).
Selanjutnya tujuan pendidikan Nasional ini dijabarkan dalam pedoman pendidikan karakter. Dalam Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah (2009: 9-10) dinyatakan bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab.
Karakter nomor 3 adalah toleransi. Dalam prakteknya sikap toleransi pelajar dianggap masih rendah baik internal maupun antara umat beragama. Untuk rendahnya toleransi internal umat Islam sangat terlihat dengan maraknya pelarangan pengajian oleh umat Islam sendiri atau pelarangan pembangunan masjid oleh umat Islam sendiri, dengan alasan karena berbeda madzhab atau tradisi.
Hal ini ada yang mengaitkan dengan faktor teologis (karena tujuan pendidikan adalah untuk mencetak manusia yang bertakwa), faktor kurikuler (berkaitan dengan kurikulum, tidak mengenalkan agama lain) dan lain sebagainya.
Sebenarnya faktor terpenting dari rendahnya toleransi adalah al-Jahl (kebodohan) dan jauhnya kita dari para teladan yang sebenarnya dalam beragama, serta bisa jadi ada agenda yang dilancarkan oleh pihak lawan dalam rangka proxy war.
Oleh karena itulah melalui makalah ini saya ingin mengajak pembaca semua untuk belajar toleransi khususnya yang bersifat internal maupun ekternal kepada para salaf shalih, agar tidak menyalahkan Islam dan ulama Islam, dan agar tidak perlu belajar toleran kepada orang lain.
Di Antara Toleransi Adalah Menghargai Perbedaan Madzhab
Di antara bentuk toleransi (tasamuh) pada ulama salaf adalah membiarkan kebiasaan baik yang dilakukan oleh suatu penduduk yang sudah diwarisi oleh orang kholaf dari generasi salaf.
مَا يَسُرُّنِيْ أَنَّهُمْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا
“Saya tidak suka mereka tidak berbeda-beda.” Kemudia dia menulis surat ke penjuru negri dan kota:
لِيَقْضِ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ فُقَهَاؤُهُمْ
“Silakan setiap kaum memutuskan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama mereka.”[1]
Hal ini mencontoh apa yang ada di kalangan sahabat . Ubaidullah al-Salmani berkata: Ali ibn Abi Thalib berkata:
اُقْضُوْا مَا كُنْتُمْ تَقْضُوْنَ، فَإِنِّيْ أَكْرَهُ الْإخْتِلَافَ حَتَّى يَكُوْنَ لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ، أَوْ أَمُوْتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِيْ
“Putuskan apa yang sudah kalian putuskan, sesungghunya aku tidak suka perselisihan, agar manusia memiliki persatuan, atau aku meninggal dunia seperti para sahabatku meninggal.”[2]
لَا يَنْبَغِي لِلْفَقِيْهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ وَلَا يُشَدِّدَ عَلَيْهِمْ ”
“Tidak seyogjanya seorang ulama ahli fikih memaksa orang untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka.”
Muhanna berkata: saya mendengar Ahmad berkata:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَشْرَبَ هَذَا النَّبِيْذَ يَتَّبِعُ فِيْهِ مَنْ شَرِبَهُ فَلْيَشْرَبْهُ وَحْدَهُ
“Barang siapa ingin meminum nabidz ini karena mengikuti orang yang meminumnya maka silahkan meminumnya sendiri (tidak boleh ajak-ajak orang lain).”
Imam Ahmad ditanya tentang seorang yang shalat di masjid sedangkan dia meminum nabidz (perasan anggur yang diinapkan sebelum menjadi khamer) sesuatu yang memabukkannya. Apakah boleh bermakmum kepadanya?
Ahmad menjawab:
إِذَا كَانَ مُتَأَوِّلًا وَلَمْ يُسْكِرْ فَأَرْجُو، فَإِنْ سَكِرَ لَمْ يُصَلَّ خَلْفَهُ
“Jika dia berijtihad dan tidak mabuk maka saya berharap (boleh bermakmum kepadanya), namun jika mabuk maka jangan shalat di belakangnya.”
Dia berkata: Kami meriwayatkan dari orang yang meminum (nabidz).”[3]
Ibnu al-Junaid berkata: saya mendengar Yahya ibn Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz adalah shahih akan tetapi saya diam (tawaqquf) tidak mengharamkannya, dia telah diminum oleh orang-orang shalih berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan dia diharamkan oleh orang-orang yang shalih berdasarkan hadits-hadits yang shahih.”[4]
Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Zuhair ibn Harb mendatangi Khalaf ibn Hisyam, mereka bertanya kepadanya. Ketika mereka hendak pergi dia berkata kepada Imam Ahmad: “Bagaimana pendapatmu tentang ini wahai Abu Abdillah?” Yang dimaksud oleh Khalaf adalah botol nabidz yang ada di hadapannya, yang tadinya pelayan wanitanya hendak mengambilnya saat dia melihat kedatangan mereka, maka dia berkata kepada pelayannya: “Biarkan, Allah sudah melihat sesuatu maka apakah aku harus menyembunyikannya dari manusia?” Maka Imam Ahmad menjawab:
“Bukan aku yang bertanggung jawab menjawab pertanyaan itu, tetapi engkau yang bertanggung jawab.” Maka Khalaf berkata: “Bagaimana (mengapa begitu)?” Ahmad berkata: Nabi i bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَنْزِلِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَمَّا فِيْهِ ، وَلَيْسَ لِلْخَارِجِ أَنْ يُغَيِّرَ عَلَى الدَّاخِلِ شَيْئاً
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian ditanya tentang apa yang dipimpinnya, seseorang itu pemimpin di dalam rumahnya, dia ditanya tentang apa yang ada di dalamnya. Tidaklah orang luar berhak merubah sedikitpun atas orang dalam.”[5]
Yang rajih, nabidz itu halal dengan 2 syarat:
لَيْسَ لَهُ مَنْعُ النَّاسِ مِنْ مِثْلِ ذَلِكَ وَلَا مِنْ نَظَائِرِهِ مِمَّا يَسُوْغُ فِيْهِ الْإجْتِهَادُ، وَلَيْسَ مَعَهُ نَصٌّ مِنْ كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ وَلَا إِجْمَاعٍ، وَلَا مَا هُوَ فِي مَعْنَى ذَلِكَ.
Dia tidak berhak melarang manusia dari hal seperti itu, tidak juga dari masalah-masalah yang sejenisnya dari hal-hal yang boleh di dalamnya ijtihad, sementara dia tidak memiliki nash dari al-Qur`an dan dari Sunnah, tidak dari Ijma’ dan tidak pula memiliki sesuatu yang semakna dengan itu.”[6]
Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abdullah ibn al-Hakam, dia berkata: saya mendengar Imam Malik berkata:
شَاوَرَنِي هَارُوْنُ الرَّشِيْدِ فِي أَنْ يُعَلَّقَ ( الْمُوَطَّأُ ) فِي الْكَعْبَةِ، وَيُحْمَلَ النَّاسُ عَلَى مَا فِيْهِ، فَقُلْتُ: لَا تَفْعَلْ، فَإِنَّ أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ r اخْتَلَفُوْا فِي الْفُرُوْعِ، وَتَفَرَّقُوْا فِي الْبُلْدَانِ، وَكٌلُّ عِنْدَ نَفْسِهِ مُصِيْبٌ، فَقَالَ: وَفَّقَكَ اللهُ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ
“Harun al-Rasyid meminta pertimbangan saya untuk menjadikan kitab saya al-Muwatha` tergantung di Ka’bah, dan dia mewajibkan manusia untuk mengamalkan isinya. Maka saya katakan: “Jangan engkau lakukan, sebab para sahabat Rasulullah i telah berselisih dalam masalah furu’, dan mereka telah tersebar di berbagai negeri, dan masing-masing merasa dalam dirinya benar.” Maka dia berkata: “Semoga Allah memberimu taufiq wahai Abu Abdillah.”[7]
Kisah ini juga diriwayatkan antara Malik dan Abu Ja’far al-Manshur. Bisa jadi kisah ini berulang bersama al-Manshur dan juga bersama al-Rasyid. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat meriwayatkan dari Muhammad ibn al-Aslami al-Waqidi, dia berkata: saya mendengar Malik ibn Anas berkata: Tatkala al-Manshur naik haji, dia berkata kepadaku: “Saya bertekad untuk memerintahkan kitabmu ini untuk disalin, kemudian aku akan mengirim ke setiap kota dari kota-kota kaum muslimin satu naskah darinya, dan aku perintahkan mereka untuk mengamalkan isinya, dan mereka tidak boleh melampauinya kepada yang lainnya.” Maka aku katakan:
يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ، لَا تَفْعَلْ هَذَا، فَإِنَّ النَّاسَ قَدْ سَبَقَتْ إِلَيْهِمْ أَقَاوِيْلُ، وَسَمِعُوْا أَحَادِيْثَ، وَرَوَوْا رِوَايَاتٍ، وَأَخَذَ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا سَبَقَتْ إِلَيْهِمْ، وَدَانُوْا بِهِ مِنِ اخْتِلَافِ النَّاسِ، فَدَعِ النَّاسَ وَمَا اخْتَارَ أَهْلُ كُلِّ بَلَدٍ مِنْهُمْ لِأَنْفُسِهِمْ
“Wahai Amirul Mukminin, jangan engkau lakukan itu, sebab manusia telah sampai kepada mereka ucapan-ucapan, dan mereka telah mendengar hadits-hadits, dan meriwayatkan riwayat-riwayat, dan masing-masing kaum berpegang dengan apa yang sudah sampai kepada mereka, dan mereka telah meyakininya dari perbedaan manusia. Maka biarkanlah manusia dan apa yang telah dipilih oleh masing-masing penduduk negeri untuk diri mereka.”
Dengan kutipan-kutipan ini maka menjadi jelaslah bagi kita satu kaedah yang diletakkan oleh Syaikh al-Mujaddid Muhammad Rasyid Ridha pemilik majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar, yang disebar luaskan oleh Ustadz Hasan Banna dalam Rasailnya, yaitu yang berbunyi:
نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ، وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضاً فِيْمَا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ
“Kita berta’awun dalam hal yang kita bersepakat dan kita saling memaklumi dalam hal kita kita berikhtilaf.”
Namun Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin mengingatkan bahwa yang benar adalah harus dibatasi, bukan mutlak:
Jadi ucapan yang dianggap kaedah ini tidak mutlak, sebab dalam hal yang tidak boleh berijtihad di dalamnya, seperti masalah akidah yang menyalahi salaf shalih maka tidak boleh ditolerir, melainkan di situ ada kewajiban saling menasehati. Hal ini dikatakan oleh Syaikh Utsaimin juga oleh Syaikh al-Albani.[8]
“Aku belum pernah melihat orang yang paling memiliki nalar dibanding al-Syafi’i. Suatu hari aku mendebatnya dalam satu masalah, kemudian kami berpisah, dan dia bertemu dengan saya kemudian berkata:
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلَا يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَاناً وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِي مَسْأَلَةٍ؟
“Wahai Abu Musa, tidakkah kita cocok untuk menjadi bersaudara walaupun kita tidak bersepakat dalam satu masalah?!”
Imam Dzahabi berkata: “Ini menunjukkan sempurnanya akal Imam Syafi’i dan fikihnya, sebab para ulama yang adu argumentasi senantiasa berselisih.”
Ucapan yang serupa juga dikatakan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal tentang Imam Ishaq ibn Ruhawaih. Beliau berkata:
لَمْ يَعْبُرْ الجِسْرَ إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ إِسْحَقَ، وَإِنْ كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَلْ يُخَالِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضاً ” .
“Tidak ada yang menyebrangi jembatan ke Khurasan orang seperti Ishaq, meskipun ia menyelisihi kita dalam beberapa masalah, sesungguhnya manusia itu senantiasa sebagiannya menyelisihi sebagian yang lain.”[9]
أَحْلَلْتُ كُلَّ مُسْلِمٍ عَنْ إِيْذَائِهِ لِيْ
“Saya telah menghalalkan (memaafkan) setiap muslim yang menyakiti aku.”
Demikianlah seharusnya sesama muslim harus saling toleransi dalam masalah-masalah ijtihadiyah dan masalah-masalah khilafiyah yang mu’tabar dalam Islam. [*]