Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
PENGERTIAN HERMENEUTIKA DAN HAKEKATNYA
Hermeneutika berasal dari bahasa Greek “Hermeneutikos”, dan dari bahasa Inggris “Hermeneutiks” yang berarti “Menunjukkan sesuatu”. Hal ini tidak terbatas hanya pada pernyataan, tetapi meliputi bahasa secara umum, penerjemahan, interpretasi, juga gaya bahasa dan retorika. Makna seperti ini dapat ditemukan dalam karya Plato (429-347 SM) yang berjudul Definitione.
Secara umum Hermeneutika dikenal sebagai sebuah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Ia kemudian diadopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat, ilmu ini berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuat ilmu penafsiran, ia berkembang menurut latar belakang budaya, ideology, pandangan hidup (world-view), politik, ekonomi, sosial, dll. Ia bukanlah ilmu yang netral, melainkan ilmu yang penuh dengan muatan nilai Yunani, Kristen dan Barat.
Menurut Werner G. Jeanroad, ada tiga milien penting yang berpengaruh pada timbulnya Hermeneutika sebagai sebuah ilmu penafsiran atau teori interpretasi:
Milien Masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani.
Milien Masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama mereka dan berupaya untuk mencari model yang cocok bagi interpretasi Bible.
Milien Masyarakat Eropa di jaman pencerahan (Enlightenment) yang berupaya lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan geraja dan membawa hermeneutika keluar dari konteks keagamaan menuju ruang filsafat.
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HERMENEUTIKA
Fase Metologi Yunani
Sudah dimaklumi bahwa Masyarakat Yunani tidak mengenal agama tertentu, tetapi mereka percaya kepada Tuhan dalam bentuk mitologi. Dalam mitologi Yunani terdapat 55 dewa dewi yang dikepalai oleh dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercaya sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutika digunakan dalam menentukan makna, peran dan fungsi teks kesusastraan yang berasal dari Masyarakat Yunani kuno.
Penafsiran-penafsiran metologi dan puisi boleh jadi sangat subjektif atau ditentukan oleh kondisi politik keagamaan yang belaku. Metode terpenting yang digunakan secara alami adalah metode kiasan (allegory), suatu tradisi di Yunani yang diprakarsai oleh Theagnes dari Rhegium (abad 6 SM). Penafsiran kiasan (Allegorical Interpretation) umumnya melibatkan penolakan Literer atau meninggalkannya sama sekali.
Aristotle murid Plato pernah menggunakan perkataan ini untuk judul bukunya “Peri Hermeneias” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai De Interpretatione, yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan On the Interpretation. Namun jauh sebelum itu al-Farabi (339 H / 950 M) menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-Ibarah. Jadi Hermeneias itu sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kara kerja (verb), kalimat (sentence), ungkapan (proposition), dll yang terkait dengan tata bahasa. Aristotle sama sekali tidak mempersoalkan teks atau membuat kritikan terhadap teks. Maka terjemahan al-Farabi itu sangat tepat.
Fase Teologi Yahudi dan Kristen
Hermeneutika pada fase ini beralih dari makna kebahasaan menuju istilah keagamaan. Hal ini dimulai dari usaha para teolog Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka dengan tujuan utama untuk mencari nilai kebenaran Bible yang telah simpang siur.
Hal ini mereka lakukan karena ada sejumlah masalah yang berkaitan dengan kitab suci mereka:
Mereka mempertanyakan: “Apakah secara harfiyah Bible itu bisa dianggap sebagai kalam Tuhan ataukah perkataan manusia?. Aliran yang meyakini bahwa teks Bible itu kalam Ilahi mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim dalam memahami Bible. Sebab faktanya Bible dikarang oleh pengarang yang berbeda-beda. Ada Injil karangan Matius (Gospel Acording to Mathew), Injil karangan Lukas (Gospel Acording to Luke), Injil karangan Yohanes (Gospel Acording to John), Injil karangan Markus (Gospel Acording to Mark), dll. Sedangkan kitab perjanjian lama maka sebagian besar tidak diketahui penulisnya dan sebagian lagi diragukan.
Oleh karena itu para teolog Kristen memerlukan Hermeneutika untuk memahami kalam Tuhan yang sebenarnya. Mereka hampir sepakat bahwa Bible secara harfiyah bukan kalam Tuhan, sehingga mereka memerlukan Hermeneutika untuk memahami makna Bible.
Keadaan ini berbeda dengan kaum muslimin yang sepakat bulat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad baik lafazh maupun maknanya. Mereka juga sepakat bulat bahwa membaca al-Qur’an secara harfiyah adalah ibadah dan diberi pahala per huruf. Mereka juga sepakat menolak satu huruf al-Qur’an adalah kufur. Dan mereka juga sepakat bahwa terjemahan al-Qur’an adalah bukan al-Qur’an, dsb.
Masalah berikutnya adalah Bible kini ditulis dan dibaca bukan dengan bahasa aslinya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew (Ibrani) untuk perjanjian lama dan Greek (Yunani kuno) untuk perjanjian baru, padahal Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic (Aramiyah).
Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya ke dalam bahasa Latin, lantas ke bahasa-bahasa Eropa yang lain seperti: Jerman, Inggris, Perancis, dll. Hingga Bible memakai sekitar 3.400 macam bahasa, termasuk bahasa Indonesia yang banyak mengacu pada Bible bahasa Inggris.
Hal ini berbeda dengan kaum muslimin yang sepakat bulat bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, disampaikan dalam bahasa Arab dan ditulis dengan bahasa Arab. Dan bersepakat bahwa terjemahan al-Qur’an bukanlah al-Qur’an.
Mengenai teks-teks Hebrew, Bible juga mempunyai masalah yaitu berkaitan dengan isu originality. Dan kitab Perjanjian baru juga memiliki permasalahan yang sama dengan Perjanjian Lama.
Mengenai bahasa Hebrew sendiri juga bermasalah karena tidak seorangpun yang kini berbicara dengan bahawa Hebrew. Maka untuk memahaminya, para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan bahasa yang serumpun dengan Hebrew (Simitic Languages), dalam hal ini adalah bahasa arab, karena bahasa Arab masih hidup hingga saat ini.
Kita tahu bahwa bahasa Arab itu hidup karena dihidupkan oleh al-Qur’an itu sendiri. Jadi al-Qur’an sendirilah yang menyelamatkan bahasa Arab, untuk umatnya. Sedangkan Bible, mereka harus menyelamatkan dulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bible. Oleh karena itu wajarlah bila para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika. Dengan Hermeneutika ini mereka berharap dapat memahami Bible dengan pemahaman yang baik daripada pemahaman para pengarangnya sendiri. Maka sudah wajar apabila Bible yang dikarang oleh banyak orang dan saling bertentangan itu memerlukan Hermeneutika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari pada pengarang Bible itu sendiri. Teori Hermeneutika dirumuskan oleh Schleiermacher mendasarkan pada analisis terhadap pengertian tata bahasa, kondisi (sosial-budaya dan kejiwaan) pengarangnya, dan kondisi lingkungannya. Ini sangat penting untuk memahami makna suatu teks.
Adapun dalam kasus al-Qur’an, adakah terpikir oleh seorang muslim untuk menganalisa kondisi Allah dan kondisi lingkungan-Nya?!!. Bagaimana terpikir oleh orang mukmin bahwa dia dapat mengetahui al-Qur’an lebih baik dari pada Allah dan dapat memahami lebih baik dari pada Rasul Allah ?!!. Lalu siapakah di antara orang mukmin yang menganggap bahwa al-Qur’an adalah sebuah karya tulis?!. Jadi al-Qur’an yang sempurna tidak butuh hHermeneutika yang kerdil itu.
Persoalan tentang prinsip penafsiran yang valid dan konsisten untuk Perjanjian Lama dan Baru, serta penafsiran hukum secara keseluruhan masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Hermeneutik adalah metode alternative untuk menggantikan metode-metode sebelumnya yang tidak sehat, yaitu:
Metode Allegoris yang dianut oleh Philo (meninggal sekitar 50 SM) dari agama Yahudi, Origen (meninggal sekitar 254 M) dan Jerome (420 N) dari agama Kristen, yang dikenal hingga reformasi pada abad ke-16. metode ini berpusat di Alexandria dan dipengaruhi oleh Hermeneutika Plato.
Metode Literalis. Metode ini berpusat di Antioch dan banyak dipengaruhi oleh Hermeneutika Aristotle (384-322 SM).
Metode Semiotik (teori tentang symbol). Teori ini muncul akibat adanya pertentangan antara konsep alegoris Alexandria dan Konsep Literal (Gramatikal) Antioch. Maka folosof Kristen st. Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan tengah yaitu teori Semiotik. Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung Arbiter (semena-mena) juga dari Literalisme yang terlalu simplistic (sederhana). Karya St. Augustine ini dianggap awal terjadinya proses asimilasi teologis dalam hermeneutika.
Metode Dogmatis, yang berusaha menghukumi semua interpretasi Bible menurut tradisi-tradisi gereja yang diberi otoritas penuh dan mutlak.
Metode Literalis Historis. Kaum Protestan, yang dipimpin oleh Luther, Zwingli, Melancthon dan Calvin pada abad ke-17 menolak otoritas gereja yang dogmatis. Mereka ingin mengikuti otoritas mutlak yang tanpa cacat itu bukan dari gereja tapi dari teks-teks kitab suci itu. Tetapi karena teks-teks kitab suci itu tidak orisinal, terpaksa mereka menggunakan penafsiran sejarah. Mereka ini juga menolak metode alegoris.
Hal ini berbeda dengan tafsir al-quran, sebab tafsir adalah benar-benar merupakan suatu metode ilmiah, sebab tafsir yang benar adalah yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan tentang “bidang-bidang” makna seperti yang disusun dalam bahasa Arab, diatur dan diaplikasikan di dalam al-Qur’an serta tercermin dalam al-Sunnah. Oleh karena itu di dalam tafsir tidak ada ruang bagi terkaan, atau dugaan gegabah, atau interpretasi yang subyektif atau hanya berdasar pada ide tentang relativisme historis, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk kosa kata kitab suci ini.
Jadi tafsir al-Qur’an adalah ilmiah dan ilmu pengetahuan yang pasti, sama pastinya dengan ilmu eksak seperti Fisika dan Matematika, sebab ia berdasarkan pada aturan linguistic dan bidang semantic tentang makna yang mapan dan baku, serta berdasar pada pandangan hidup al-Qur’an dan Sunnah nabi.
Fase Filsafat (Sekularisasi)
Perkembangan hermeneutika dari diskursus teologi menjadi pembahasan filsafat bersamaan dengan perubahan pendangan hidup masyarakat Barat modern dan post modern. Abad ke-18 dianggap sebagai awal periode berlakunya proyek modernitas, yaitu abad pemikiran rasional yang menjanjikan pembebasan (liberalisasi) dari irrasionalitas, mitologi, khurafat dan teologi (agama). Ini tidak lain adalah era sekularisasi yang mengarah kepada desakralisasi ilmu dan institusi sosial. Mereka meletakkan ilmu dalam posisi berlawanan dengan agama yang dianggap penyebab kemunduran. Di Barat, apa yang dulu disebut Tuhan Yang Maha Kuasa, kini berubah menjadi akal kolektif. Tuhan ada dalam akal manusia buka diluarnya. Milien komudikasi Tuhan dengan ciptaan-Nya tidak lagi melalui wahyu, tetapi melalui bahasa Universal. Ia berbicara dalam diri manusia dalam bahasa bangsanya.
Dalam milien pemikiran inilah hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat. Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) seorang pendeta Protestan liberal dari Jerman dianggap Bapak Hermeneutika modern.
Filsafat hermeneutikanya bermula dari pertanyaan universal: “Bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana itu terjadi?”. Dia mengajukan dua teori: pertama, pemahaman ketata bahasaan (Grammatical Understanding) terhadap semua ekspresi, dan kedua pemahaman Psikologis terhadap pengarang. Lalu dari sini hermeneutik dikembangkan untuk merekonstruksi pikiran pengarang, menyelami subyektifitas pengarang, melalui kegiatan devinasi (ramalan, dugaan).
Pada era ini Hermeneutika teologis menjadi particular dari filsafat hernemeutika yang universal. Yang mana particular tidak dapat dipahami kecuali dengan yang universal. Maka agama disubordinasikan di bawah filsafat.
Karena subyektifitas hermeneutika itu sangat tinggi, maka teori-teori hermeneutika yang lain saling bermunculan dan tidak terkendali mengikuti pandangan hidup tokohnya:
Schleiermacher dengan latar belakangnya sebagai pendeta Protestan liberal dan idealis absolut merubah makna hermeneutika dari sekedar teks Bible menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat.
Wilhelm Dilthey (Jeman, 1833-1911) sebagai pakar sejarah dan metodologi ilmu-ilmu sosial membelokkan makna hermeneutika menjadi kajian historis yaitu sebuah teknik memahami eskpresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan.
Martin Heidegger (1889-1976) dengan latar belakang filsafat fenomologinya membawa hermeneutika kepada kajian ontologis yang menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan.
Haus Georg Gadamer (1900-1998) sebagai filosof besar di lingkungan filsafat menomenologi Jerman, ia juga mendukung kajian ontologis Heidegger tapi dalam konteks tradisi pemikiran filsafat Barat. Hermeneutika baginya adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter yang didahului oleh pra-penilaian.
Jurgen Habermas (1929- ) dengan latar belakang filsafat sosial Marxisnya menggeser makna hermeneutika kepada pemahaman yang diwarnai dan didahului oleh kepentingan (interest), khususnya kepentingan kekuasaan.
f. Paul Ricoeur (1913- ) seorang Katholik Perancis dengan milien filsafat fenomenologi dan eksistensialisnya mensyaratkan adanya aspek pandangan hidup interpreter sebagai faktor utama dalam pemahaman hermeneutisnya.
Dan masih banyak lagi aliran-aliran hermeneutika lain seperti hermeneutika Emilio Betti (Itali, 1890-1968), Eric D. Hirsch (Amerika, 1928- ), dll.
Jika demikian, maka penerapan hermeneutika terhadap al-Qur’an adalah semena-mena (arbiter), mustahil (absurd), irrasional dan irrelevan. Lebih-lebih terkait dengan kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya “Hermeneutic Circle”, yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan.
Hermeneutika bukanlah ilmu yang netral, tetapi sarat dengan nilai (value laden). Dalam bentuk interpretasi alegoris maupun gramatikal, hermeneutika adalah produk budaya mitologi dan filsafat Yunani. Dalam bentuk interpretasi teologi ia adalah produk intelektual Kristen yang telah memecah belah mereka, meskipun mereka sama-sama menganggap Bible adalah kitab suci dan sakral. Dalam bentuk metode penafsiran dalam filsafat ia adalah produk era sekularisme yang seperiode dengan era imperialisme dan kolonialisme. Bila diterapkan pada kitab suci, ia akan menghancur-leburkan sebab dalam diskursus filsafat al-Qur’an misalnya sama dengan buku-buku lain, tidak ada bedanya.
Dengan kata lain hermeneutika itu berbeda dengan Tafsir dan Ta’wil dalam tradisi Islam, tidak sesuai untuk kajian al-Qur’an baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat muhkamat dan menganggapnya sebagai ayat-ayat yang problematik. Di antara pengaruh hermeneutik teologis adalah keinginan Muhammad Arkoun untuk mendekonstruksi mushaf Usmani. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum muslimin bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah. Pendapat Fazlur Rahman bahwa al-Qur’an adalah “Both the Word of God and the Word of Muhammad”, juga pendapat Muhammad Arkoun al Jazairi bahwa al-Qur’an adalah wahyu edisi dunia (editions terrestres), juga pendapat Nashr Hamid Abu Zaid al-Misri bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (Muntaj Tsaqofi) adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Yang mana sebelumnya orang-orang kafir telah mengatakan bahwa Muhammad adalah pengarang al-Qur’an seperti yang disuarakan oleh G. Sale (1734), Sir William Muir (1860), Walleston (1905), H. Mammens (1926), Champion and Short (1959), J.B. Glubb (1970) dan M. Radinson (1977).
Seharusnya orang mukmin itu cermat, cerdas dan tanggap, bahwa hermeneutika teologis sebagai akibat raibnya bahasa asli Bible yang telah menjadikan bahasa Arab sebagai standar bagi bahasa Hebrew dan bahasa Semit yang lain seharusnya semakin mengukuhkan kedudukan al-Qur’an sebagai branchmark bagi kitab suci yang lain, sebab ia adalah kitab suci yang terakhir, authentic dan universal, bukan malah diperlakukan sewenang-wenang seperti kitab yang lain.
Allah berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(48)
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (al-Maaidah: 48)
Sedangkan upaya para pemikir progresif dan liberalis untuk mendekontruksi al-Qur’an sebagaimana yang telah dipelopori oleh para Orientalis Barat yang kafir terhadap al-Qur’an melalui kajian hermeneutika atau usaha membuat al-Qur’an dalam edisi kritis adalah kesia-siaan dan penyimpangan yang memalukan.
Allah berfirman:
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (al-Nisaa’: 89)
“Barangsiapa tidak cukup baginya al-Qur’an sebagai hujjah, Sunnah sebagai hidayah, ulama’ sebagai pewaris dakwah dan kematian sebagai mau’izhah maka cukuplah baginya nereka sebagai kaffarah dan uqubah”.
Malang, 1 Dzulhijjah 1425/12 Januari 2005
MARAJI’:
Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir Bukanlah Hermenuetika, Majalah Media Dakwah Vol. 348, Juli 2003, h. 25-32
Ugi Suharto, Apakah al-Qur’an memerlukan Hermeneutika?, Majalah Islamia Vol. 1 / Muharram 1425 H, h. 46-53
Hamid Fahmy Zarkasy, Hermeneutika sebagai Produk Pandangan Hidup.
Adnin Armas, Kritik Arthur Jeffrey terhadap al-Qur’an, Majalah Islamia No. 2 / Juni-Agustus 2004, h. 7-19
Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhammad Arkoun sebuah Kritik, Majalah Islamia No. 2, h. 20-25
Adian Husaini dan Henri Salahudin, Studi Komparatif Konsep al-Qur’an Nashr Hamid dan Mu’tazilah, Majalah Islamia No. 2, h. 33-42
Ahmad Fuad Fanani (JIMM), Hermeneutika dan Tafsir Alternatif, Republika Jum’at, 5 Desember 2003
Hilman Latief (JIMM), Hermeneutika Teoritis dan Praksis.
dll.