Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Dr. KH. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.
Dalam Daurah Syar’iyyah ke-6 yang diadakan oleh Ma’had ‘Ali al-Irsyad Surabaya (sejak tanggal 12-8-2008/10 Sya’ban 1429, Ma’had ‘Ali al-Irsyad ini berubah statusnya menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Ali bin Abi Thalib), yang bertempat di Agro Wisata Kebun Teh Wonosari Lawang Singosari Jawa Timur, sebelas tahun lalu, tepatnya pada tanggal 20-25 Jumada Tsaniyah 1427 H atau 16-21 Juli 2006, banyak sekali pelajaran penting yang disampaikan oleh Syekh Dr. Sulaiman ibn Salimillah ar-Ruhaili dan Syekh Dr. Ibrahim ibn Amir ar-Ruhaili.
Di antara pelajaran penting atau yang kita sebut sebagai wasiat adalah apa yang disampaikan oleh Syekh Ibrahim pada malam terakhir, yaitu Kamis malam Jum’at 24 Jumada Tsaniyah, ba’da Maghrib dengan judul al-I’tisham wal Ijtima’ (berpegang teguh dengan ajaran dan bersatu).
Syekh menyampaikan materi itu sebagai kritikan dan pencerahan dan pelurusan bagi penyimpangan yang terjadi di tengah aktivis dakwah. Penyimpangan yang pertama dilakukan oleh sekelompok umat Islam yang mementingkan unsur pertama (yaitu unsur berpegang teguh dengan ajaran yang benar saja) dan mengabaikan unsur kedua (yaitu unsur persatuan). Sedangkan penyimpangan kedua dilakukan oleh kelompok lain yang melakukan kebalikan dari kelompok pertama, yaitu mementingkan persatuan dan mengabaikan prinsip berpegang teguh pada ajaran yang benar. Yang diinginkan oleh beliau adalah apa yang diinginkan oleh Islam; yaitu berpegang teguh dengan ajaran yang benar dalam persatuan dan bersatu diatas kebenaran.
Syekh mengawali taushiyahnya dengan membawakan serta menafsiri firman Allah pada surat Ali Imran ayat 103:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Beliau mengulas bahwa al-I’tisham tidak serta merta menciptakan ijtima’. Oleh karena itulah masing-masing diperintahkan oleh Allah secara sendirian. Setelah peritah untuk ber-i’tisham, Allah memerintahkan untuk ber-ijtima’. Ini berarti bisa saja orang-orang yang ber-i’tisham dengan agama Allah itu bertikai dan tidak bersatu. Oleh karena itu kita wajib mengupayakan ijtima’ sebagaimana kita mengupayakan i’tisham.
Dari sini kita dapat mengetahui kesalahan orang yang memahami bahwa i’tisham adalah “yang penting saya berpegang dengan kebenaran, tidak urusan dengan orang lain.” Akibatnya masing-masing orang bersikukuh dengan pemahaman dan pendapatnya, dan mudah menyalahkan orang lain tanpa ada upaya serius untuk memahami dan memahamkan orang lain. Dakwah orang seperti ini cenderung kaku, gampang men-tahdzir (memberikan peringatan) dan memecah belah, tanpa terasa.
Menurut Syekh Ibrahim, i’tisham yang benar adalah “menunaikan apa yang telah diwajibkan oleh Allah dalam dirinya, baik yang bersifat perintah maupun larangan, kemudian mengajak orang lain kepada kebaikan yang ada pada dirinya dengan penuh kesabaran seperti para Rasul yang ulul azmi. Jadi i’tisham ini melaksanakan sifat-sifat keberuntungan yang ada dalam surat al-‘Ashr; yaitu beriman , beramal shaleh, berdakwah dan bersabar. Artinya ketika menghadapi tantangan dan cobaan yang berat atau pengingkaran dari masyarakat ia tetap bersabar, tidak kendor dan mundur, tetapi juga tidak emosional ataupun dendam lalu berubah menjadi keras dan kasar. Inilah hakikat i’tisham itu, yaitu tsabat (tegar) di atas dakwah, tidak berubah menjadi ghuluw (berlebih-lebihan) atau taqshir (teledor).”
Sedangkan ijtima’ maka pengertian yang benar adalah kita tidak boleh keluar dari agama Allah dalam pergaulan dan muamalah dengan manusia, kita tidak menghalangi hak-hak kaum muslimin seperti menjawab salam , mendatangi undangan, berkunjung, menjenguk yang sakit, membantu, berteman dan lain sebagainya. Akan tetapi, memang ada beberapa orang yang memiliki sifat yang mengharuskan kita untuk menjauhinya sesuai dengan aturan syari’at seperti yang dipahami para ulama’. Termasuk satu kesalahan apabila demi persatuan kita ikut dalam semua majlis, walaupun majlis itu batil. Dan salah besar jika demi persatuan kita mengorbankan kebenaran, dengan tidak melakukan amar makruf nahi munkar. Maka wajar saja dalam pergaulan jika ada orang pilihan yang dekat dan ada pula yang renggang hubungan. Yang penting ijtima’ itu adalah dengan memenuhi hak kaum muslimin, tidak menzhalimi mereka (dan tidak melakukan sesuatu yang membuat kita memisahkan diri dari jamaah).
Syekh Ibrahim juga mengingatkan bahwa dakwah dan amar makruf nahi mungkar yang benar tidaklah memecah belah, melainkan mengajak bersatu dan mempersatukan dalam kebenaran. Salah satu dalilnya adalah firman Allah tadi:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imron: 103)
Allah memerintahkan kita beri’tisham dan melarang bercerai berai. Jika i’tisham –yang di dalamnya terkandung dakwah dan amar makruf nahi mungkar—itu memecah belah, tentu sudah dilarang oleh Allah, bukan malah diperintahkan. Dari sinilah kita dapat memahami bahwa perpecahan itu adalah ada pada sikap menentang dakwah dan menyalahi dakwah.
Saudaraku, apa yang diperintahkan Allah dalam surat Ali Imran tadi juga diperintahkan dalam surat-surat yang lain seperti surat asy-Syura ayat 13:
وَيَضِيقُ صَدْرِي وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَانِي فَأَرْسِلْ إِلَىٰ هَارُونَ﴿١٣﴾
“Dia telah mensyari`atkan untukmu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. Asy-Syura: 13)
Pertama Allah memerintahkan [أَنْ أَقِيْمُوْا الدِّيْنَ] lalu memerintahkan [وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ]. Syekh Abdurrahman ibn Nasir as-Sa’di mengatakan: “Allah memerintahkan kalian untuk menegakkan semua syariat (ajaran) agama ini baik ushul (ajaran yang pokok) maupun furu’ (cabang-cabang)-nya. Kalian tegakkan dalam diri kalian, dan kalian berusaha keras untuk menegakkannya pada orang lain. Kalian saling menolong dalan kebajikan dan takwa dan tidak saling menolong dalam dosa dan permusuhan. Dan janganlah kalian bercerai berai dalam agama agar terwujud penegakan agama secara sempurna di atas ushul dan furu’nya.” (Tafsir as-Sa’di IV/ 388-389)
Kalau kita perhatikan, kesimpulan dari syekh Ibrahim tadi bahwa yang menyebabkan adanya perpecahan di barisan orang-orang yang sama-sama menegakkan agama adalah kezhaliman atau baghyi dari sebagaian orang. Inilah yang dinyatakan oleh Allah pada ayat berikutnya:
وَما تَفَرَّقُوا إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ
“Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (Kezhaliman) antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 14).
Oleh karena itu setiap ada pertikaian antara sesama mukmin pasti karena baghyi/baghyun. Allah berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴿٩﴾
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat baghyi (aniaya) terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat: 9)
Apabila ada orang tetap tidak mau damai, dan yang yang salah tidak mengakui kesalahannya maka berarti penyakit dalam hatinya telah akut, sehingga tidak bisa berpikir dan bernalar dengan baik, atau dengan kata lain tidak berakal. Demikian kesimpulan Syekh Muhammad Amin asy-Syinqithi dalam kitabnya ad-Dinul Kamil, karena Allah berfirman:
لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلَّا فِي قُرًى مُحَصَّنَةٍ أَوْ مِنْ وَرَاءِ جُدُرٍ ۚ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ ۚ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ﴿١٤﴾
“Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada berakal (mengerti).” (QS. Al-Hasyr: 14)
Saudaraku, intinya i’tisham tidak mungkin terwujud kecuali dengan ilmu, iman, amal shaleh, dakwah dan sabar. Dan yang merusak adalah al-jahl (kebodohan) dan isti’jal (ketidak-sabaran). Sedangkan ijtima’ tidak mungkin terwujud kecuali dengan keadilan dan ihsan. Dan yang merusaknya adalah kezhaliman atau aniaya (baghyi/baghyun). Inilah sifat dasar kebanyakan manusia sebelum ter-sibghah (tercelup) dengan iman, taqwa dan akhlaq al-karimah.
Semoga kita dapat merealisasikan ciri khas ahlussunnah yaitu kokoh dalam kebenaran dan berjuang mencipkan serta menjaga persatuan. Amin! *
Semoga kita bisa mengamalkannya. Menjadi pelopor persatuan di atas kebenaran. Memiliki keyakinan kuat dan akhlak mulia yg mantap
Masya Allah..
Barakallahu fik ustadz…