Selamat Tinggal Paungdok

Edisi lalu sudah kita terangkan bahwa kita di hari Jumat itu makan di warung pak Muhammad di pinggir Jalan Raya, dekat jalan masuk ke desa Paungdok. Di edisi ini masih ada sedikit informasi yang tersisa, yaitu jalan masuk ke Paungdok tidak bisa dimasuki mobil karena di tengahnya ada banyak gundukan yang tidak bisa dikangkangi mobil, kemudian menyemput. Perhatikan foro berikut:

Untuk kebutuhan air bersih mereka menimba air di sumur dekat masjid pertama di sebelah kanan jalan begitu kita masuk desa, seperti dalam foto berikut:


Kemudian di masjid yang tua yang masuk ke dalam ada tulisan tahun pendirian (atau renovasi) di tiang mihrab sebelah kiri atas: “ 9321 هجري”. Maksudnya adalah tahun 1239 H. Perhatikan foto berikut:

Ini minbarnya. Rata-rata atau semua masjid di Arakan mimbarnya 3 trap seperti ini.

Ini kondisi warung, bisa menggambarkan tingkat kesulitan ekonomi yang dihadapi.

Ini kondisi apotik yang sederhana, entah obatnya kadaluwarsa apa tidak. Dan apotekernya tanpa pakaian atau tanpa baju.

Setelah kita menikmati makanan lezat khas Rohingya di warung Pak Muhammad, maka kami pun berpamitan kepada seluruh saudara muslim yang hadir dan mengucapkan selamat tinggal dengan pikiran iba yang bercampur aduk tidak karuan. Semoga Allah swt melindungi mereka. Aamiin.

Ceramah Di Mrauk-U

Para pembaca yang mulia, akhirnya kami terus kembali melanjutkan perjalanan ke tujuan utama yaitu kota Mrauk-U.

Setelah tiba di Kota Mrauk-U kami ingin ke Museum Mrauk-U, namun waktunya sangat sedikit. Akhirnya kami putuskan ke Candi Shitthaung Paya, sebuah kuil terkenal di Mrauk-U. Nama Shitthaung Paya berarti ‘Kuil 80.000 Gambar Buddha’, dan juga dikenal sebagai ‘Kuil Kemenangan’. Candi ini katanya dibangun pada 1535-1536 di zaman Raja Min Ba (Jabuk/Jakfar Syah) untuk memperingati penaklukannya terhadap Bengal.

Pintu masuk Candi. Dari sini semua pengunjung diwajibkan melepas alas kaki.

Sebelum masuk kita berlima sempat ragu apakah masuk atau tidak. Selain pertimbangan keamanan juga rumah ibadah agama Budha. Maka untuk pertimbangan keamanan pula agar tidak terlihat celingukan atau kikuk, kita tampil sebagai turis, dan di waktu yang bersamaan sebagai sarana dakwah, kita katakan kepada teman-teman: “Jangan lupa membaca ayat al-Qur`an untuk ruqyah. Ini adalah bumi Allah, mungkin sudah beberapa abad di sini tidak dibacakan dzikir kepada Allah, sambil berdoa agar mereka mendapat hidayah.”

Kami perhatikan ada sedikit turis asing yang masuk, tetapi orang seperti kami tidak ada. Oleh karena kita masuk hanya sekedar biar seperti turis yang melihat-lihat dan mengambil gambar maka kami cukupkan hanya di lorong tidak perlu masuk ke ruang utama. Terus kami kembali.

Ada kambing yang naik di atas tembok. Menjadi tontonan orang.

Di luar pagar ada orang jualan manisan ziti (buah bidara) yang tipe bulat kecil, rasanya agak kecut dan sepet. Juga ada ziti besar yang manis, lalu sedikit jeruk dan sedikit apel. Walhasil, menunjukkan tingkat ekonomi yang sederhana, kurang makmur.

Setelah itu kami berjalan menuju Htukkanthein. Di pinggir jalan ada sumur yang dikeramatkan dan dianggap suci airnya.

Kuil Htukkanthein (Balai Peninggalan Htuk) diucapkan ‘Htoke-kan-thein’ adalah salah satu kuil paling terkenal di kota kuno Arakanese Mrauk-U. Nama itu berarti “Balai Sidang Cross-Beam”, Kuil ini katanya dibangun pada tahun 1571 pada masa Raja Min Phalaung (sultan Sekandar Syah).

Seperti kebanyakan kuil Buddha Mrauk-U, candi ini dirancang sebagai tujuan ganda ‘kuil benteng’. Meskipun merupakan ‘thein’ (Ordination Hall), ini adalah salah satu bangunan paling militeristik di Mrauk-U, dibangun di atas tanah yang ditinggikan, dengan satu pintu masuk dan jendela kecil. Menurut Dr. Emil Forchhammer, seorang arkeolog yang dipekerjakan oleh Raja Inggris untuk mempelajari Mrauk-U pada akhir abad ke-19, kuil-kuil tersebut mungkin telah dipekerjakan sebagai tempat perlindungan untuk tatanan religius Buddhis pada masa perang.[1]

Karena kita harus siaran live ke Indonesia maka saya putuskan untuk cermah singkat di halaman kuil sekaligus benteng ini. Awalnya mau ceramah, akan tetapi dua pengawal kami yang beragama Budha memperingatkan: “No salam”. Artinya tidak boleh mengucap salam dan ciri-ciri Islam lainnya. Saya jadi bingung mau bicara apa, sebab mereka berdua ikut menyaksikan live saya dari dekat.

Kita sudah terkoneksi dengan TV al-Umm di YBM Malang, akhi Imbang sudah menyapa: bagaimana kabarnya ustadz. Secara reflek saya jawab: “Oh iya Alhamdulillah keadaan baik,” lalu saya ditegur oleh pengawal dan oleh Triono: “Lho, kok Alhamdulillah?” Maka saya pun meralat agak guguk, “Oh, apik apik alhamd. Oh, baik baik.” Lalu saya mesem –seperti foto di atas, karena merasa aneh, sambil mikir ini ngomong apa, kalau tidak boleh nyebut Allah, Nabi Muhammad, Islam dan sejenisnya. Saya sambil ngulur-ngulur waktu, seperti orang bingung. Kalau di situ saya bilang, ini tempat kunjungan wisata, tetapi untuk orang bule, bukan orang muslim berjenggot seperti kita. Hanya karena kenekadan saja saya lakukan ini. oleh karena itu di menit ke …

Menjadi hamba Tuhan Yang Maha Esa, dan selalu bersyukur, cinta kepada-Nya dan kepada utusan-Nya yang terakhir. Dimana ia adalah simbol dari kecintaan, merangkul semua umat manusia di bawah kepada satu pengabdian, yaitu kepada Tuhan yang Maha Esa. Dan kita hubungannya harus kasih sayang dan cinta. Ada banyak pelajaran, tapi lain kali saja dengan izin Yang Maha Kuasa akan kita sampaikan. Karena memang tempatnya kurang cocok di sini. Tapi kita bersyukur kepadanya atas segala nikmat dan rahmat-Nya. Sampai bertemu mas imbang, semoga Tuhan yang Maha Kuasa memberkati anda sekalian.

Di menit ketiga itu saya sudahi dan saya hentikan, selain memang sulit memilih kalimat yang tidak ada Islamnya, penanggung jawab dari Sittwe menelpon salah satu rombongan menanyakan dimana saya, saat dijawab sedang ceramah di depan kuil maka dia langsung kaget, dan dengan serius mengatakan: “Cepat suruh naik ke mobil sekarang juga!” Lalu sayapun diberi aba-aba oleh Triono. Dan sayapun segera menutup dan langsung masuk mobil untuk tancap pulang ke Sittwe. Masyaallah, sungguh pengalaman yang sangat menegangkan dan mendebarkan.

Silahkan saksikan videonya “LIVE ceramah Dr. KH. Agus Hasan Bashori di CANDI TERTUA MRAUK-U” di https://www.youtube.com/watch?v=tz8NNd2sB9A

www.alumm.tv https://www.youtube.com/user/alummchannel

Di bawah pohon kalobin itu kami melakukan live.

Demikian laporan kali ini, semoga menjadi inspirasi. Sampai bertemu di laporan berikutnya. [*]

  1. https://en.wikipedia.org/wiki/Htukkanthein_Temple

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *