Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Pada edisi lalu saya menyajikan bagian terakhir dari renungan pendidikan dalam Surat Maryam dari terjemahan makalah Dr. Usman Qadri Makanisi. Kini kita lanjutkan dengan renungan pendidikan dalam surat al-Syu’ara` oleh penulis yang sama.
Dalam surat yang mulia ini terdapat beberapa renungan pendidikan yang dapat mencerahkan pikiran, menggugah nalar, memotivasi akal, dan menambahkan perbendaraan dari luberan tarbiyah qur`aniyyah yang tampak sangat jelas sekali.
Di antara yang paling penting adalah:
1. Metode mengulang-ulang (al-Tikrar)
Apa manfaat dari mengulang-ulang di sini?
Dalam buku saya “Shuwar Min al-Tarbiyah Fi al-Qur`an al-Karim” saya sebutkan sekitar 12 tujuan dari pengulangan. Saya katakan dalam renungan sebelumnya bahwa pengulangan adalah satu fenomena pendidikan dan satu pola pengajaran yang orisinil. Masuk ke dalam hati dan jiwa dari pintu yang bermacam-macam. Ia membukanya dengan banyak cara, terkadang kuat dan terkadang sedang, terkadang menakutkan dan terkadang mencintakan, sehingga terwujudlah tujuan-tujuan pendidikan, akhlak dan pembelajaran.
Lalu di manakah pengulangan di dalam surat ini?
Surat ini datang dalam 9 bagian yang membangun pondasi tauhid dan pemurnian ibadah hanya kepada-Nya di dalam hati, mengingatkan untuk mengikuti para Rasul dan Nabi, mengajak kepada takwa, muraqabah terhadap Allah, dan menakut-nakuti akibat kekufuran dan kemaksiatan.
Di bagian awal dan akhir, Allah mengajak bicara Rasul-Nya yang mulia, Muhammad saw. Di bagian-bagian lainnya Dia menceritakan kepada kita tentang para Nabi yang mulia; Musa, Ibrahim, Nuh, Hud, Shalih, Luth, dan Syu’aib ‘alaihimussalam dalam bentuk berurutan, juga apa yang mereka jumpai dari kerasnya penentangan kaum mereka, pendustaan mereka kepada mereka saat mengajak untuk hanya menyembah kepada Allah semata dan untuk beramal shalih, dengan menyebut hukuman yang merupakan nasib akhir mereka.
Di akhir pembicaraan tentang masing-masing Nabi, kita menemukan penutupannya dalam firman Allah “Sesungguhnya dalam hal itu terdapat ayat (tanda kebesaran Allah)”: “Dan tidaklah sebagian besar mereka beriman, sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tujuh kali berulang-ulang untuk menjelaskan:
a. Bahwa Allah mendukung para Rasl-Nya dengan dalil-dalil dan bukti-bukti. Untuk menyukseskan tugas penting seorang petugas harus dibekali dengan bukti-bukti yang jelas dan yang dapat memenangkan secara telak.
b. Kebanyakan manusia mengikuti hawa nafsu mereka, menyimpang dari jalan hidayah. Setan dan hawa nafsu condong untuk membawa diri ini kepada situasi yang ringan dari beban, menanggalkan tugas-tugas dan menjauh dari kebenaran.
c. Bahwa Allah Maha Kuat lagi Perkasa melaksanakan apa saja yang Dia kehendaki. Ini adalah puncak dari ancaman, sebab Allah -Subhanahu wa ta’ala- mampu atas segala sesuatu. Maka Dia akan menyiksa mereka jika Dia menghendaki pada saat Dia menghendaki dengan cara yang Dia kehendaki.
d. Allah menerima pertaubatan orang yang taubat apapun kesalahannya. Dia Maha penyayang terhadap para hamba-Nya, menghadap kepada mereka jika mereka mau menghadap, dan melupakan kesalahan-kesalahan mereka jika mereka mau kembali kepada-Nya dan berlindung dengan perlindungan-Nya.
e. Sebagaimana ayat ini memberitahukan berakhirnya satu kisah dan bermulanya kisah yang lain. Keduanya mirip, menuju kepada makna yang diinginkan oleh Surat ini dan tujuan yang digagasnya. Dengan arti lain bahwa ayat yang mulia:
{إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ * وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ}
Merupakan penyambung yang menghubungkan amal para Nabi dalam satu amal, satu tujuan yaitu dakwah kepada mentauhidkan Allah.
Kita mendapatkan di permulaan kisah para Nabi yang lima: Nuh, Hud, Shalih, Luth, dan Syu’aib, ada pengulangan dalam soal dakwah kepada takwa dan pengenalan tugas “Telah mendustakan …para Rasul, ketika saudara mereka berkata kepada mereka tidakkan kalian bertakwa? Sesungguhnya aku ini utusan yang terpercaya untuk kalian, maka bertakwalah kepada Allah dan taatilah. Aku tidak meminta upah kepada kalian atasnya, tidaklah upahku kecuali atas Allah Rabb semesta alam.” Ucapan ini diulang sebanyak lima kali, untuk menegaskan:
1) Wajibnya tabligh (menyampaikan risalah), yaitu kalimat “إذ قال….”. Ini untuk menegakkan hujjah atas mereka, dan ini adalah pembenaran dari firman Allah:
يا أيها الرسول : بلغ ما أنزل إليك من ربك ، وإن لم تفعل فما بلّغتَ رسالته
2) Bahwa Rasul itu adalah “saudara mereka” yang mencintai kebaikan untuk mereka, dan menunaikannya kepada mereka. Kecuali dalam kisah Syu’aib tidak disebut kata “akhuhum” sebab menurut para ahli tafsir, “Ashhab al-Aykah” itu bukan dari kaum Syu’aib, meskipun ia diutus kepada mereka setelah mendakwai kaumnya. Adapun kaumnya yang ia diutus untuk mendakwahi mereka pertama kali adalah penduduk Madyan. Atas dasar ini al-Qur`an menyebut dalam Surat Hud bahwa ia adalah “akhuhum” (saudara mereka), artinya bagian dari mereka, “وإلى مدين أخاهم شعيبا”.
3) Kalau kita telusuri kaum Nuh, Hud, Shalih, Luth, dan Syu’aib niscaya kita dapatkan bahwa mereka itu diutus kepada kaum mereka saja. Semua Nabi diutus kepada kaumnya saja, dan bersamanya tidak ada Rasul lain. Setiap kaum mendustakan Nabi mereka saja!! Tapi mengapa Allah menegaskan bahwa mereka itu mendustakan semua Rasul? Jawabnannya adalah barangsiapa mendustakan seorang Nabi maka dia telah mendustakan seluruh nabi. Barangsiapa membenarkan seorang Nabi maka dia telah membenarkan seluruh nabi. Para Nabi itu membawa ajaran dari satu sumber. Dari sini kita memahami firman Allah yang memuji kaum muslimin pengikut Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam- dengan ucapannya:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqorah: 285)
4) Mereka diminta untuk bertakwa kepada Allah. Takwa adalah jalan iman dan pilarnya. Tidak ada takwa kecuali dengan taat kepada Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-. Para Rasul semuanya diamanahi risalah dan mereka semua jujur dalam menyampaikannya (al-tabligh). Oleh karena itu semua Rasul mengikrarkan satu statemen:
إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ
“Sesungguhnya aku bagi kalian adalah seorang Rasul yang terpercaya.”
Para Nabi adalah simbol amanah. Bukankah Allah memerintahkan kepada Musa dan Harun saat mendatangi Firaun:
فَقُولَا إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (16) أَنْ أَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ (17)
“…Dan katakanlah olehmu: “Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.” (QS. Asy-Syu’ara’ (26): 16-17)
Kalau keduanya tidak memegang amanah niscaya tidak dipilih oleh Allah untuk memimpin Bani Israel menuju daratan yang aman.
5) Mereka diperintah untuk bertakwa dengan dua pola (uslub) yang saling menguatkan. Yang pertama berbunyi “أَلَا تَتَّقُونَ ؟” (“Mengapa kamu tidak bertakwa?” (Asy-Syu’ara’ (26): 106)) Ini adalah uslub pertanyaan yang bersifat memotivasi (istifham tahdhidhi). Ini lebih mengajak untuk berfikir dan mengambil keputusan tanpa tekanan dan paksaan.
Adapun yang kedua yaitu “فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ”. “Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (Asy-Syu’ara’ (26): 131). Di sini bentuknya kata perintah setelah pemberian kesempatan untuk berfikir, mengetahui alasan dan menetapkan amanahnya para Rasul, setelah kebenaran menjadi jelas di hadapannya.
Adapun Musa maka Allah telah mengirimnya kepada Fir’aun dan kaumnya yang mereka itu Zalim tidak bertakwa.
وَإِذْ نَادَى رَبُّكَ مُوسَى أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (10) قَوْمَ فِرْعَوْنَ أَلا يَتَّقُونَ (11)
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): “Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir’aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?” (Asy-Syu’ara’ (26): 10-11)
6) Bisa saja engkau diperintah oleh seseorang untuk melakukan sesuatu yang di dalamnya ada kemaslahatanmu dan juga ada kemaslahatannya yang bersifat duniawi. Adapun para Rasul yang mulia maka mereka berdakwah murni untuk wajah Allah, tidak menginginkan apapun balasan dan imbalan dari kita, tidak juga ucapan terima kasih.
وَمَآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِىَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’ara’ (26): 109)
Pahala para Nabi atas dakwah mereka besar sekali dan sangat agung, tidak mampu manusia membalasnya, hanya Allah Tuhan manusia yang mampu memberinya balasan dengan sebaik-baik balasan. Bukankah Nabi kita Muhammad -Shalallahu alaihi wa salam- telah mengajarkan kepada kita untuk membalas orang yang berbuat baik kepada kita dan kita ingin membalasnya dengan balasan yang besar dengan mengatakan kepadanya: “جزاك الله عنا كل خير”.
“Semoga Allah membalas Anda, mewakili kami, dengan segala kebaikan.”
Adapun ayat “maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku” maka telah datang dalam pembicaraan tentang Nuh, Hud, dan Shalih dua kali. Hal itu karena pembangkangan kaum Nuh, kaum Hud, dan kaum Shalih. Nuh as tinggal di tengah-tengah mereka sekitar 1000 tahun kecuali 50 tahun. Mereka membantahnya dan mengerahkan orang-orang bodoh untuk mengeroyok dan mendustakannya. Sangat lama Nuh mendakwahi mereka hingga bosan dari mereka. Kepedihan hatinya tampak dalam Surat al-Qamar:
فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ (10)
“Maka dia mengadu kepada Tuhannya: “bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).” (Al-Qamar (54): 10)
Adapun kaum Hud, karena mereka sangat sombong dan congkak serta bertindak kejam kepada orang-orang mukmin dan penduduk di desa-desa sekitarnya. Mereka menyombongkan kuat dan raksasanya fisik mereka. Mereka menyombongkan juga kekayaan yang Allah berikan kepada mereka berupa harta, anak, ternak, kebun, mata air, dan mereka kufur dengan nikmat-nikmat Allah.
Adapun kaum Shalih, Allah telah menyiapkan untuk mereka kehidupan yang nyaman, kekayaan yang melimpah dan kekuatan fisik yang memungkinkan bagi mereka untuk menggali gunung dan menjadikannya sebagai rumah, kemudian mereka meminta tanda kekuasaan Allah lalu Allah mengirimkan unta betina, lalu mereka menganiayanya dan membangkang perintah tuhan mereka.
Adapun cerita tentang kaum Luth dan Syu’aib bersama Ashhabul Aikah maka telah hadir ayat: “فاتقوا الله وأطيعون” sebanyak satu kali. Barangkali orang yang menelusuri surat menemukan bahwa kerusakan mereka adalah hanya ada di tengah mereka dan tinggalnya kedua Nabi tersebut di tengah mereka lebih sebentar. Wallahu a’lam.
2. Ta’lil (penyebutan alasan) dan sebabnya
Ta’lil datang karena beberapa sebab, antara lain:
– Berlepas diri dan menyampaikan udzur
– Menerangkan beberapa hal dan menjelaskannya
– Memikul tanggung jawab ucapan dan perbuatannya
– Pemilik keputusan terakhir tentang tindakannya.
Saya akan menyebutkan sebagian contohnya:
a. Nabi Ibrahim as mengumukan permusuhannya terhadap berhala-berhala dan penolakan penyembahannya. Dia menegaskan penghambaannya kepada Allah semata, Tuhan semesta alam, karena beberapa sebab: 1) Yang menciptakan aku, maka Dia yang memberiku hidayah. 2) Yang memberi aku makan dan minum, 3) Yang jika aku sakit maka Dia yang menyembuhkan aku, 4) yang mematikan aku dan menghidupkan aku, 5) Yang aku berharap Dia mengampuni dosa-dosaku di hari pembalasan.
Karena Allah adalah yang Memiliki perintah dan larangan, Yang berhak diibadahi maka saya berdoa (menyembah) kepada-Nya semata, Dialah yang menjawab doa Yang kepada-Nya semua makhluk berlindung dalam doa, dan Dialah yang aku minta, “وإذا سألتَ فاسأل الله ، وإذا استعنت فاستعن بالله”. Maka dia berdoa:
رَبِّ هَبْ لِي حُكْماً وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (83) وَاجْعَلْ لِي لِسانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ (84)
وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (85) وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ كانَ مِنَ الضَّالِّينَ (86) وَلا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (87) يَوْمَ لا يَنْفَعُ مالٌ وَلا بَنُونَ (88) إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
(Ibrahim berdoa): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu’ara’ (26): 83-89)
b. Setan tidak mampu untuk mencuri dengar berita langit:
وَما تَنَزَّلَتْ بِهِ الشَّياطِينُ (210) وَما يَنْبَغِي لَهُمْ وَما يَسْتَطِيعُونَ (211)
“Dan Al-Quran itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan-syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al-Quran itu, dan merekapun tidak akan kuasa.” (Asy-Syu’ara’ (26): 210-211)
Mengapa?
) إِنَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُولُونَ (212
“Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al-Quran itu.” (Asy-Syu’ara’ (26): 212)
c. Allah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia agar bertawakkal kepada-Nya:
وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱلْعَزِيزِ ٱلرَّحِيمِ
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang,” (Asy-Syu’ara’ (26): 217)
Mengapa?
Sebab Allah -Subhanahu wa ta’ala- adalah:
عَلَى ٱلْعَزِيزِ ٱلرَّحِيم ٱلَّذِى يَرَىٰكَ حِينَ تَقُومُ وَتَقَلُّبَكَ فِى ٱلسَّٰجِدِينَ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
“Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Asy-Syu’ara’ (26): 218-220)
d. Allah berfirman:
وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلْغَاوُۥنَ
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (Asy-Syu’ara’ (26): 224)
Mengapa ya Rab? Allah menjawab:
أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِى كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?” (Asy-Syu’ara’ (26): 225-226) [*]