Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Orang besar pasti memiliki rahasia, memiliki kunci mengapa bisa menjadi besar, dan kalau sudah besar pasti memiliki karakter yang menjadi ciri khasnya. Di balik orang besar pasti ada faktor yang menyebabkannya menjadi besar. Salah satu rahasianya adalah karena memiliki ibu yang besar atau guru pembimbing yang besar, atau istri pendamping yang berjiwa besar. Hal ini bisa dilihat dalam makalah “Wanita di balik tokoh besar”.
Selain itu orang besar pasti memiliki kapasitas akal yang besar, yang memiliki intelektualitas (fithnah) dan inteligensi yang tinggi (dzaka’). Maka akal yang besar adalah akal yang cerdas dalam bekerja, belajar, mengagas, atau membahas berbagai persoalan. Akal yang besar juga memiliki inteligensi tinggi yaitu cerdik untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Inteligensi ini adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional sehingga melahirkan sikap yang terpuji.
Beberapa waktu lalu, sepulang dari mengisi di Surabaya, di dalam mobil saya sampaikan kepada rombongan kru majalah al-Umm tentang kunci dan rahasia orang besar. Saya syarah ucapan sahabat Muawiyyah mengenai orang yang cerdas dan cerdik. Rombongan tertarik dan merasakan manfaatnya, akhirnya saya putuskan bahwa edisi depan (yaitu sekarang ini), saya akan bahas “Rahasia orang besar”.
Alhamdulillah, dengan izin Allah makalah itu kini hadir. Sumber inti dari makalah ini adalah ucapan dan pengalaman para tokoh Islam yang kesohor yang kalau disimpulkan bahwa orang besar itu adalah orang yang memiliki akal besar, yaitu orang yang mampu:
Berikut ini adalah ungkapan dari beberapa tokoh besar umat Islam (para ulama dan umara` muslim) yang menunjukkan 27 karakter di atas:
Umar ra berkata:
أَعْقَلُ النَّاسِ أَعْذَرُهُمْ لِلنَّاسِ
“Manusia yang paling berakal adalah manusia yang paling mampu memberikan udzur kepada manusia.” (al-Tsa’alibi, al Tamtsil wa al-Muhadharah, hal. 29)
2. Sa’ad ibn Abi Waqqash (55 H)
Pernah ada masalah antara Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Khalid ibn al-Walid berselisihan, maka ada seseorang yang merendahkan Khalid di hadapan Sa’ad, maka Sa’ad menghardik:
مَهْ، إِنَّ مَا بَيْنَنَا لَمْ يَبْلُغْ دِيْنَنَا
“Tahan lisanmu, sesungghnya apa yang terjadi di antara kami tidak sampai menyentuh agama kami.” (Ibn Abi al Dunya, al-Shamt, 150)
3. Muawiyah ibn Abi Sufyan (60 H)
Muawiyah ibn Abi Sufyan berkata kepada seorang Arab yang telah banyak makan asam dan garam kehidupan: “Tolong beritahu aku sesuatu yang paling baik yang pernah engkau lihat!” Maka dia menjawab:
عَقْلٌ طُلِبَ بِهِ مُرُوءَةٌ مَعَ تَقْوَى اللَّهِ وَطَلَبِ الآخِرَةِ
“Akal yang digunakan untuk mencari muru’ah (harga diri), disertai dengan takwa kepada Allah dan mencari akhirat.” (Rawdhah al-‘Uqala’, 19)
Muawiyah berkata:
اَلْعَقْلُ مِكْيَالٌ: ثُلُثُهُ فِطْنَةٌ وَذكَاءٌ، وَثُلُثَاهُ تَغَافُلٌ
“Akal adalah wadah, sepertiganya adalah intelektualitas dan inteligensi, sedangkan dua pertiganya adalah sikap taghaful (pura-pura tidak tahu).” (al-Raghib, al Dzari’ah ila Makarim al Akhlak, hal. 242.
Inilah yang menjadi bahan diskusi kami dari Surabaya waktu itu, bahwa aktifitas orang besar untuk memajukan lembaga, yayasan, perusahaan dan negara itu, tiga puluh tiga persennya adalah kemampuan intelektualitas (fithnah) dan inteligensi yang tinggi (dzaka’), dimana ia harus cerdas dalam bekerja, belajar, mengagas, atau membahas berbagai persoalan, dan cerdik untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Jadi kemampuan intelektualitas dan mentalitas yang melahirkan gagasan-gagasan brilian dan sikap-sikap yang elegan hanya sepertiganya.
Sementara dua pertiganya adalah sikap ulet dan fokus pada visi, misi, dan gagasan besarnya dengan mengesampingkan hal-hal yang tidak penting, atau persoalan kecil, atau kesalahan kecil yang dilakukan oleh orang di sekitarnya atau bahkan yang dilakukan oleh lawan terhadapnya. Dia tetap menjaga kondisi agar tetap kondusif, aman, dan nyaman dalam upayanya mewujudkan cita-cita. Inilah yang disebut dengan taghaful, yaitu pura-pura tidak tahu. Jadi dia ingin melupakannya, ingin melewatinya tidak ingin mempedulikannya atau mempermasalahkannya, sebab ada yang lebih besar dan lebih penting yaiitu program utamanya. Jadi ulet dan fokus pada program adalah faktor terbesar keberhasilan orang-orang besar.
Setelah berakal besar dan bermental baja, dia berjiwa besar, dengan berpura-pura tidak tahu terhadap orang-orang atau hal-hal yang akan menyibukkan dirinya dari tugas utamanya yaitu meraih cita-cita mewujudkan impiannya.
Oleh karena itu tidak heran bila Sahabat Muawiyah ra menjadi seorang negarawan tulen; 20 tahun menjadi gubernur dan 20 tahun menjadi khalifah dengan prestasi-prestasi gemilang untuk Islam.
Taghaful adalah satu sikap positif untuk tetap melaju dalam program dan fokus pada tujuan yang telah ditetapkan dan direncanakan oleh kekuatan intelektual dan intelegensinya, tanpa mau tersandung atau tersendat oleh gangguan dan rintangan. Faktor inilah yang menjadi kunci dan inti keberhasilan, hingga seorang pengusaha terkemuka dari Singapura mengatakan: “Success is 99 % attitude and 1 % aptitude” (Sukses adalah 99 persen sikap dan 1 persen bakat).[1]
4. Umar ibn Abdul Aziz (101 H)
Umar ibn Abdul Aziz berkata:
“Dua perkara dari orang pandir (jahil) yang salah satunya pasti kamu akan mendapatinya: banyak menoleh dan cepat menjawab.” (ibn al Muflih, al Adab al-Syar’iyyah, 2/212)
5. Al-Hasan al-Bashri (110 H)
Imam Hasan Bashri jika diberitahu tentang seseorang bahwa dia adalah orang yang shaleh, maka dia bertanya: “Bagaimana akalnya?” Kemudian berkata:
مَا يَتِمُّ دِيْنُ امْرِئٍ حَتَّى يَتِمَّ عَقْلُهُ
“Tidaklah sempurna agama seseorang hingga sempurna akalnya.” (Ibn Muflih, al-Adab al-Syariyyah, 2/212).
Maka Hasan Bashri berkata:
لَأَنَا لِلْعَاقِلِ الْمُدْبِر أَرْجَى مِنِّي لِلْأَحْمَقِ الْمُقْبِلِ
“Sungguh, saya lebih berharap kepada orang berakal yang mundur ke belakang dari pada orang pandir yang datang menghadap.” (Rawdhah al ‘Uqala’, 123)
“Mereka mengatakan: Mudarah (bersikap luwes) itu adalah separuhnya akal. Sedangkan saya mengatakan: “Ia adalah seluruh akal.” (al Khaththabi, al-‘Uzlah, 100)
Mudarah yang dimaksud adalah taghaful, di mana imam Ibnul Mubarak menceritakan tentang Imam Malik; orang yang paling berakal pada zamannya dengan mengatakan:
“Malik adalah manusia yang paling banyak mudarah kepada manusia, dan meninggalkan apa yang tidak penting baginya.” (Qadhi Iyadh, Tartib al Madarik wa taqrib al Masalik, 1/128)
6. Sufyan al-Tsauri (161 H) dan Wahb ibn Munabbih (114 H)
Sufyan al-Tsauri berkata:
“Wahb berkata: “Tidaklah Allah disembah dengan sesuatu seperti disembah dengan akal. Dan tidaklah seseorang itu berakal hingga ada padanya 10 perkara: dia aman dari sifat sombong, diharapkan kebaikannya, berteladan dengan orang sebelumnya, menjadi imam bagi orang sesudahnya, baginya merendahkan diri dalam taat kepada Allah lebih ia sukai daripada menyombongkan diri dalam maksiat kepada Allah, melarat dalam kehalalan lebih baik daripada kekayaan dalam keharaman, penghidupannya adalah makanan pokoknya, menganggap sedikit amalnya yang banyak dan menganggap banyak amal orang lain, tidak merasa bosan dengan mencari kebutuhan-kebutuhan sebelumnya, dan kesepuluh, tahukan Anda yang kesepuluh, yang dengannya menjulang keagungannya dan luhur namanya yaitu: dia keluar dari rumahnya, tidak berjumpa dengan siapapun kecuali dia menilai dirinya ada di bawahnya.” (Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashair wa al-Dzakhair, 3/15).
Wahb ibn Munabbih berkata:
“Orang yang berakal wajib untuk tidak lalai dari empat waktu; waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya, waktu untuk menginstrospeksi dirinya, waktu untuk bertemu dengan saudara-saudaranya, dan waktu untuk berkhalwat antara dirinya dan kelezatannya.” (Akhbar Ashbahan, 1/107).
7. Abdullah ibn al Mubarak (181 H)
Abdullah ibn al Mubarak berkata:
“Orang yang berakal wajib tidak meremehkan 3 orang: ulama , sultan, dan saudara. Barangsiapa meremehkan ulama maka hilanglah akhiratnya. Barangsiapa meremehkan sultan maka hilanglah dunianya, dan barangsiapa meremehkan saudara maka hilanglah muruahnya (nama baiknya, kehormatan dirinya).” (Siyar A’lam al-Nubala’, 13/46)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’I (204 H)
Imam Syafi’i berkata:
العاقل من عَقَلَهُ عَقْلُهُ عَنْ كُلِّ مَذْمُوْمٍ
“Orang berakal adalah orang yang dikendalikan oleh akalnya, jauh dari setiap perkara yang tercela.” (al Nawawi, al-Majmu’ Syarah al Muhadzab, 1/31)
Imam Syafi’i juga berkata:
اَللَّبِيْبُ الْعَاقِلُ هُوَ الْفَطِنُ الْمُتَغَافِلُ
“Orang yang cerdik pandai adalah orang yang cerdas lagi menutup mata (dari hal-hal kecil atau tidak penting).” (Mu’jam Ibn al Muqri`, 51))
Imam Syafi’i juga berkata:
“Sesungguhnya akal itu memiliki batas akhir sebagaimana pandangan mata memiliki batas akhir.” (Ibn Abi Hatim, Adab al-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 207).
9. Abdullah ibn al Mu’taz (296 H)
Abdullah ibn al-Mu’taz adalah seorang Khalifah Abbasiyah yang dipanggil Abu al-Abbas dan bergelar al-Murtadha Billah. Namun dia hanya menjadi Khalifah sehari semalam saja karena dibunuh oleh para pelayan al-Muqtadir Billah tahun 296 H.
Abdull ibn al Mu’taz berkata:
“Jika sempurna akalnya maka sedikit bicaranya (dalam hal yang tidak perlu).” (al Faqih wa al-Mutafaqqih, 2/52)
10. Al Mawardi (Abu al Hasan Ali ibn Muhammad, 450 HHHhhH)
Imam Al Mawardi menyebutkan:
اَلْعَاقِلُ مَنْ أَضَافَ إِلَى عَقْلِهِ عُقُوْلَ الْعُلَمَاءِ، وَإِلَى رَأْيِهِ آرَاءَ الْحُكَمَاءِ؛ فَالرَّأْيُ الْفَذُّ رُبَّمَا زَلَّ وَالْعَقْلُ الْفَرْدُ رُبَّمَا ضَلَّ
“Orang yang berakal adalah orang yang menambahkan akalnya para ulama kepada akalnya, dan menambahkan pendapatnya para orang bijak kepada pendapatnya. Pendapat yang menyendiri terkadang tergelincir, akal yang menyendiri terkadang sesat.” (Adab al-Dunya wa al-Din, hal 300
Al Mawardi berkata: telah dikatakan:
“Orang yang berakal adalah orang yang memahami perintah dan larangan Allah.” (Adab al-Dunya wa al-Din, 26).
Imam Mawardi berkata:
“Sebagian sastrawan (ilmuwan) mengatakan: orang yang berakal adalah jika dia mencintai maka ia mengerahkan pertolongannya dalam kecintaan, dan jika ia memusuhi ia mengangkat harga dirinya dari kezhaliman, maka orang yang mencintainya berbahagia dengan akalnya, dan orang yang memusuhinya berlindung dengan keadilannya. Jika ia berbuat baik kepada seseorang ia tidak menuntut ucapan terimakasih, dan jika ada orang yang berbuat buruk kepadanya maka ia menyiapkan sebab-sebab udzurnya atau memberinya ampunan dan maaf.” (al Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, 27)
11. Abu Bakar ibn Ishaq (311) dan Abu Ali al Tsaqafi (328 H)
Abu Bakar Muhammad Ibn Ishaq Ibn Khuzaimah jika disebut akal Abu Ali al-Tsaqafi almuhaddits al-Faqih al-Syafi’i (keturunan Hajjaj), dia mengatakan:
“Itu adalah akal yang diambil dari para sahabat dan Tabi’in’. yang demikian itu karena Abu Ali tinggal di Samarkand sejak empat tahun lalu mengambil syamail (manaqib, kebaikan-kebaikan) itu dari Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, dan Ibnu Nashr mengambilnya dari Yahya ibn Yahya (al-Tamimi). Maka tidak ada di Khurasan yang lebih berakal dari padanya. Yahya mengambilnya dari Malik, dia tinggal di sana untuk mengambilnya selama satu tahun setelah selesai mendengarnya. Maka ditanyakan hal itu kepadanya, dan dia menjawab: saya tinggal di sana untuk mengambil Syamailnya, karena ia adalah syamail para Sahabat dan Tabi’in. Untuk itu Malik disebut al-Aqil (cerdas berakal), dan mereka bersepakat bahwa ia adalah manusia yang paling berakal pada zamannya.” (Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, 1/128; Lihat al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, 15/281).
Abu Ali al-Tsaqafi ini berkata: Abu Hafsh al-Naisaburi Amr ibn Salm (264 H) ini berkata:
من لَمْ يزن أَحْوَاله كُلَّ وَقْتٍ بِالكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَلَمْ يَتَّهِم خواطِره، فَلاَ تَعُدَّه.
“Barangsiapa tidak menimbang hal ihwalnya setiap waktu dengan al-Qur`an dan al-Sunnah dan tidak mencurigai pikiran-pikirannya maka jangan kamu anggap.” (Siyar A’lam al-Nubala’, 12/512)
12. Abu Hatim al-Busti (354 H)
Abu Hatim berkata:
العقل اسم يقع على المعرفة بسلوك الصواب، والعلم باجتناب الخطأ
“Akal adalah nama bagi pengetahuan terhadap perbuatan yang benar dan ilmu tentang meghindari kesalahan.” (Abu Hatim al-Busti, Raudhah al ‘Uqala’ wa Nuzhah al-Fudhala’, hal. 16).
رَأْسُ الْعَقْلِ اَلْمَعْرِفَةُ بِمَا يُمْكِنُ كَوْنُهُ قَبْلَ أَنْ يَكُوْنَ
“Kepala akal adalah mengetahui apa yang mungkin terjadi sebelum ia terjadi.” (ibid. 23)
Abu Hatim Berkata:
“Akal dan hawa nafsu itu saling bermusuhan maka kewajiban seseorang adalah menolong pendapat (akal)nya dan mengalahkan hawa nafsunya. Jika ada dua perkara yang samar atasnya maka harus dihindari yang paling dekat dari keduanya kepada hawa nafsunya, sebab dalam sikap menjauhi hawa nafsu terdapat kebaikan bagi hati dan dengan akal jiwa menjadi baik.” (Raudhah al-Uqala’, 19)
Abu Hatim berkata:
“Maka kewajiban orang yang berakal adalah lebih mementingkan untuk bisa menghidupi akalnya dengan hikmah daripada menghidupi jasadnya dengan makanan, sebab makanan pokok jasad adalah macam-macam makanan, sedangkan makanan pokok akal adalah hikmah. Sebagaimana jasad akan mati ketika kehilangan makanan dan minuman maka demikian juga dengan akal jika ia kehilangan makanannya dari hikmah maka ia mati.” (ibid. 18)
Abu Hatim:
“Orang yang berakal wajib menghindari 3 hal, sebab ia merusak akal lebih cepat daripada api yang melahap pohon awsaj yang kering (sejenis terong bulat berduri): larut dalam tawa, banyak angan-angan, dan buruk konfirmasi, sebab orang berakal tidak memaksakan diri kepada apa yang dia tidak mampu, tidak berusaha kecuali kepada apa yang mungkin diraih, dan tidak berjanji kecuali dengan apa yang dia mampu, serta tidak membelanjakan kecuali seukuran dengan apa yang dia ambil manfaatnya.” (ibid. 23)
“Orang berakal tidak akan berbicara kecuali dengan apa yang dia pandang ucapannya akan menguntungkan, kecuali apa yang dia terpaksa.” (ibid)
“Orang yang berakal tidak memusuhi dalam segala keadaan, sebab permusuhan itu tidak lepas dari kepada salah satu dari dua orang: adakalanya dia orang yang santun maka tidak aman dari tipu dayanya, atau orang jahil maka tidak aman dari caciannya.” (ibid. 98)
13. Abu Muhammad Ibn Hazm al-Andalusi (456 H)
Ibn Hazm berkata:
اَلْعَاقِلُ لَا يَرَى لِنَفْسِهِ ثَمنًا إِلَّا الْجَنَّةَ
“Orang yang berakal itu tidak melihat untuk dirinya harga (yang harus dicari) kecuali surga”. (al-Akhlaq wa al-Siyar, 16).
Ibn Hazm berkata:
Benarlah orang yang mengatakan bahwa orang berakal itu tersiksa di dunia. Dan benar pula orang yang mengatakan bahwa di dalamnya ia beristirahat. Adapun tersiksanya maka karena ia melihat tersebarnya kebatilan dan kemenangan kekuasaannya, serta terhalanginya antara dirinya dan dia dengan menampakkan kebenaran. Adapun peristirahatannya maka ia istirahat dari segala hal yang menjadi beban pikiran manusia dari urusan dunia.” (al-Akhlaq wa al-Siyar, 62).
14. Muhammad Ibnul Qayyim (751 H)
Ibnul Qayyim berkata:
“Seandainya akalmu keluar dari kekuasaan hawa nafsumu maka kedaulatan akan kembali menjadi miliknya.” (al-Fawaid, hal 54)
Semoga makalah ini bisa memotivasi pembaca untuk meniru konsep para ulama sehingga dirinya menjadi orang yang besar. [*]