Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Setelah saya memposting makalah Mengapa Barat memusuhi al-Qur`an? saya menemukan tulisan saya 10 tahun yang lalu tepatnya 1 Jumadil Awal 1426 H/ 8 Juni 2006 M. ini setelah saya menulis buku Mewaspadai gerakan kontekstualisasi Al-Quran:
Dan setelah menulis buku Koreksi total buku Fikih lintas agama: membongkar kepalsuan paham inklusif-pluralis:
Untuk membantah buku Tim Paramadina yang berjudul Fikih Lintas Agama:
Setelah saya baca ulang, subhanallah, masih sangat relevan. Makalah ini menjawab persoalan mengapa ada orang muslim mengikut Barat dalam mengkritisi al-Qur`an atau menentang ajarannya? Oleh karena itu saya posting agar dibaca banyak orang dan bermanfaat, di saat sekarang dimana banyak terjadi penodaan terhadap agama Islam termasuk kepada al-Qur`an.
Langsung kepada persoalan saya katakan: Mereka yang mengaku muslim mengikuti Barat karena hati mereka condong dan berpaling kepada sumber-sumber Barat dan metodologi Barat dalam mempelajari agama Nabi muhamamd (. Mereka mempelajarinya dan membenarkannya, mereka terpengaruh dengannya lalu menyuarakannya, bahkan melakukan kedustaan-kedustaan baru dalam mengkritisi Islam. Mengapa mereka bisa terpengaruh dengan Barat? Paling tidak faktor yang paling mendasar adalah karena di hati mereka ada penyakit. Penyakit yang paling mendasar adalah al-jahl (ketidak tahuan tentang Islam) kemudian ditambah dengan satu faktor lain atau lebih dari faktor-faktor berikut:
Belajar Islam di lembaga-lembaga pendidikan Barat, di Eropa dan Amerika.
Belajar Islam pada guru, dosen dan native speaker dari Barat Eropa dan Amerika (juga Australia) dalam lembaga pendidikan yang ada dalam negeri mereka.
Membaca sumber-sumber Barat di luar pendidikan dan mengesampingkan sumber-sumber Islam, karena faktor kebodohan atau keangkuhan.
Belajar kepada sarjana-sarjana muslim yang telah terbaratkan, terutama di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam seperti (di sebagaian) IAIN, STAIN, dan Paramadina karena embrio pikiran-pikiran liberal muncul, menetas dan menyebar di sana. Dan di sana pula banyak murid dan cucu orientalis nongkrong dan mangkal.
Membaca buku-buku atau makalah orang yang terbaratkan yaitu yang menyebut dirinya dengan jaringan Islam Liberal, Islam Progresif, Islam Emansipatoris, dll. Atau dari pribadi-pribadi yang mendukung paham liberalisme, inklusifisme, dan pluralisme.
Siapa saja orang-orang yang terpengaruh?
Mereka cukup banyak, di antaranya yang paling terkenal adalah:
Muhammad Arkoun, lahir di Aljazair 1928, meraih gelar doktor di Universitas Sorbonne Paris dan menjadi guru besar pemikiran Islam pada tahun 1963. Menurutnya al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa. Arkoun mengistilahkan al-Qur’an yang ada ini dengan al-Qur’an edisi dunia yang telah mengalami modifikasi, revisi dan substitusi. Sedangkan al-Qur’an yang sebenarnya versi Ummul Kitab Edisi Langit yang terjaga dari dimensi waktu, tidak seorangpun tahu kecuali Tuhan. Itu pandangan Arkoun tentang Tanzil (penurunan al-Qur’an), sedangkan tentang Tawil (penafsiran al-Qur’an) maka ia adalah seorang pemikir liberalis yang mengajak kepada pluralisme penafsiran dan menggagas apa yang ia sebut sebagai Rethingking Islam.
Nasr Hamid Abu Zaid, lahir di Mesir 1943, setelah divonis murtad pada tahun 1995, ia pergi ke Spanyol lalu menetap di Leiden Belanda hingga sekarang. Menurutnya al-Qur’an adalah produk budaya Arab (Muntaj Tsaqofi) karena ia turun dalam ruang sejarah Arab dan dibentuk menurut human setting. Menurut Nashr Hamid Islam adalah agama buatan Muhammad,Mohammedan Law mirip dengan ucapan Samuel M. Zwemmer Mohammedan religioun. Mengapa ia sampai berpikiran demikian liberal? Faktor utamanya karena ia menimba Islam dari orang kafir. Pada tahun 1975-1977 dia mendapat beasiswa dari The Ford Foundation untuk studi di Universitas Amerika Kairo. Dan pada tahun 1978-1979 ia belajar di Universitas Pansylvania Philadelphia USA. Setelah itulah dia melakukan kritik terhadap teks al-Qur’an karena latah mengikuti para sarjana Barat yang melakukan kritik teks terhadap Bibel. Canon Sell (1839-1932) missionaris Kristen di Madras India sudah lama menyarankan agar kajian kritis historis terhadap al-Qur’an dilakukan dengan metode kritik Injil.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya pikiran-pikiran orientalis Yahudi-Kristen dan orang-orang murtad seprti Nasr Hamid Abu Zayd (vonis murtad oleh Mahkamah Istinaf Kairo 14 Juni 1995 dan oleh Mahkamah Agung Mesir 5 Agustus 1996) itu diadopsi oleh para pemikir Indonesia yang menyebut dirinya sebagai Muslim Liberal terutama yang tergabung dalam wadah JIL (Jaringan Islam Liberal) (baca misalnya buku Adnin Armas, Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam Liberal).
Sebagai contoh berikut ini kami turunkan tulisan Luthfi Assyaukanie, anggota JIL dan dosen Paramadina Mulia Jakarta yang menganggap teks al-Qur’an mengalami berbagai proses kopi editing oleh para sahabat, tabiin, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak dan kekuasaan. Agar para pembaca mengetahui buruknya pemahaman dan busuknya keinginan dari orang-orang liberal terhadap al-Qur’an yang mulia, sehingga Luthfi Assyaukanie tidak mampu memahami hubungan qiraah (bacaan yang diajarkan oleh Nabi () dan kitabah (tulisan yang ditulis oleh para sahabat di hadapan Nabi ( dan generasi sesudahnya). Ia membalik fakta bahwa tulisan dulu baru kemudia bacaan, bukan bacaan kemudian tulisan.
Ini sangat berbahaya, hanya karena taqlid kepada orang kafir maka ia menginkari fakta bahwa macam-macam qiraah itu adalah diajarkan oleh Nabi ( bukan karangan dan kemauan nafsu. Bahkan karena setianya kepada para musuh-musuh al-Qur’an ia tidak mampu membedakan antara fakta dan analisa, antara nikmat dan laknat, antara, antara pecinta al-Quran dan musuh-musuh al-Quran, antara al-Qur’an yang diwahyukan oleh Allah ( dan al-Mushhaf yang ditulis tangan atau yang dicetak mesin. Memang, inilah metode orang liberalis, metode talbis (pembodohan) atau metode tajahul bodoh-bodohan.
Berikit ini adalah makalah Luthfi assyaukanie (Dosen Sejarah Pemikiran Islam Universias Paramadina Jakarta) yang berjudul: Hakekat Dan Sejarah Penulisan Al-Qur’an: Hasil Angan-Angan
Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam.
Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.
Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.
Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.
Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat beragamanya versi Alquran yang beredar.
Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim.
Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh dan menjadi bagian dari proyek penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).
Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.
Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah.Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.
Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.
Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan Mushaf Uthmani, pada masa itu telah beredar puluhan kalau bukan ratusan mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.
Ibn Masud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Masud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-Anam, tapi surah Yunus.
Ibn Masud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alquran. Sahabat lain yang menganggap surah penting itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan kata pengantar saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.
Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah ungkapan liturgis untuk memulai bacaan Alquran. Ini merupakan tradisi popular masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam.
Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.
Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat]. Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Kab, sahabat Nabi yang lain, yang didalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni surah al-Khal dan al-Hafd.
Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan.
Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ulum al-Quran, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.
Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu.
Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).
Sejarah penulisan Alquran mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabiin) sahabat Nabi.
Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.
Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari) dari kata a-l-m bisa dibaca yuallimu, tuallimu, atau nuallimu atau juga menjadi nalamu, ta lamu atau biilmi.
Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Masud berulangkali menggunakan kata arsyidna ketimbang ihdina (keduanya berarti tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, man sebagai ganti alladhi (keduanya berarti siapa”). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti al-talaq menjadi al-sarah (Ibn Abbas), fasau menjadi famdhu (Ibn Masud), linuhyiya menjadi linunsyira (Talhah), dan sebagainya.
Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.
Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.
Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.
***
Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara bebas.
Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru. Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi Alquran diturunkan dalam tujuh huruf dengan cara menafsirkan huruf sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa.
Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.
Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja untuk menunjukkan banyak, ini lebih parah lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.
Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab, karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang sangat dinamis.
Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa manan)? Seperti saya katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang pembentukan ortodoksi Islam.
Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses copy-editing oleh para sahabat, tabiin, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki.
Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks dan apalagi teks-teks suci, selalu bersifat repressive, violent, and authoritarian. Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya.
Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.
Demikian makalah Luthfi yang serampangan dan penuh tikaman terhadap al-Qur’an karena kebodohan dan kezhalimannya. Akhirnya, mari kita renungkan ayat-ayat Allah ( yang menceritakan beberapa sikap orang-orang kafir terhadap al-Qur’an agar kita mendapatkan siraman dan cahaya hidayah, dapat mengenali musuh-musuh al-Quran dari dulu hingga sekarang.
Allah ( berfirman:
ص وَالْقُرْءَانِ ذِي الذِّكْرِ(1)بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ(2)
“Shaad, demi Al Qur’an yang mempunyai keagungan. Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.” (Shaad: 1-2)
أَؤُنْزِلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ مِنْ بَيْنِنَا بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ مِنْ ذِكْرِي بَلْ لَمَّا يَذُوقُوا عَذَابِ(8)
“mengapa Al Qur’an itu diturunkan kepadanya di antara kita?” Sebenarnya mereka ragu-ragu terhadap Al Qur’an-Ku, dan sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku.” (Shaad: 8)
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَذَا الْقُرْءانُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ(31)
“Dan mereka berkata: “Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” (al-Zukhruf: 31)
فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ(24)إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ(25)
“lalu dia berkata: “(Al Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”. (al-Muddatstsir: 24-25)
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ(15)قُلْ لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَلَا أَدْرَاكُمْ بِهِ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(16)
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. Katakanlah: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu”. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” ( Yunus: 15-16)
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ(26)
“Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka).” (Fushshilat: 26)
Berikut adalah jawaban dari Allah bagi orang-orang yang mau berpikir:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا(24)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا(82)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (al-Nisaa’: 82)
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(23)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ(24)
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (al-Baqarah: 23-24).
Pembaca yang terhormat, di makalah berikutnya akan kita paparkan insyaAllah, catatan penting tentang sejarah penulisan al-Quran pada masa Abu Bakar ( dan Usman ( .
Semoga mendapatkan cahaya, hidayah, rahmat dan obat. Amin.
Syukron yaa akhi…, tambah jelas bg saya sekarang