Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
ABU HAMZAH IBN QOMARI
Prinsip kedua yang dijadikan dasar oleh ahli hadits dalam membangun manhaj dakwah mereka adalah mencari ilmu yang bermanfaat.
Ilmu yang dimaksud oleh ahli hadits1
Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i, terutama ilmu al-Kitab dan as-Sunnah dengan ujung tombaknya ilmu hadits nabawi yang mulia . Yang demikian itu karena ilmu hadits di samping ilmu-ilmu syar’i adalah bagaikan kepala jika dibanding dengan jasad. Ia diperlukan oleh mufassir, faqih, sejarawan, ahli bahasa dan ahli-ahli yang lain, sebab semua dasar-dasar mereka dalam istimbath ( mengambil kesimpulan hukum) dan tarjih ( memilih pendapat yang unggul) berputar pada studi sanad dan pengetahuan tentang shahih dan dhaifnya berita.
Ahli hadits telah menghabiskan usia mereka dalam mencari sunnah-sunnah nabi -Shalallahu alaihi wa salam-. Mereka mengumpulkan hadits Nabi, sunnah para sahabatnya, menelusuri kabar berita mereka, kabar berita para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Kemudian mereka mempelajari sanad-sanadnya ( mata rantai para perawinya) meneliti shahih tidaknya. Karena dalam hadits dan Atsar yang sahih telah ada kecukupan, tidak perlu lagi kepada yang dhaif. Sebagaimana yang dikataklan oleh Ibnul Mubarak bahwa dalam hadits shahih itu sudah cukup menyibukkan, tidak perlu yang dhaif2. Dengan demikian ahli hadits memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ahli ilmu-ilmu yang lain.
Ahli hadits juga mencurahkan perhatian untuk mengetahui Nasikh mansukh ( hukum yang menghapus dan yang dihapus), hadits dan atsar yang menafsirkan surat dan ayat al-Qur’an, apa yang diriwayatkan tentang bab-bab fiqih, hukum dan sunan, bahasa dan aqidah. Mereka mencari yang shahih, mengamalkannya dan mendakwahkannya. Mereka membuang yang dhaif, munkar, saqith, mathruh dan maudhu’ (palsu).
Macam-macam ilmu yang wajib dicari dan yang dimaksud dalam dakwah3
Mencari ilmu menurut ahli hadits ada dua bagian:
Pertama: Fardhu ain
Yaitu apa yang wajib dipelajari oleh setiap pribadi muslim, yang tidak seorangpun boleh untuk tidak mengetahuinya, apakah di bidang akidah seperti rukun iman, atau di bidang ibadah seperti rukun islam, atau di bidang hukum halal haram, bidang akhlak dan adab serta muamalah. Kadar yang wajib dalam hal ini berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain. Misalnya hukum-hukum zakat, ada orang yang wajib memelajarinya dan ada yang tidak wajib mempelajarinya. Begitu pula dengan rincian hukum haji, nifas, nikah, dagang dan lain sebagainya.
Setelah seorang da’I memelajari apa yang menjadi sebab bagi keabsahan dan tegaknya agamanya, ia harus mempelajari petunjuk-petunjuk Nabi saw dalam berdakwah, manhajnya dalam ishlah (memperbaiki umat), dan sunnatullah ( hukum-hukum Allah dalam alam) dalam merubah dan mengganti. Ini dari satu sisi, dari sisi lain ia wajib menguasai problematika dakwah seperti tujuan dakwah, tema dakwah, dan tehnik dakwak. Apakah hal itu yang bersifat wajib ‘ain (individual) atas setiap mukallaf yang didakwahi ataukah apa yang hanya khusus bagi sebagaian da’i. Juga wajib memperhatikan situasi umum dalam setiap jaman dan negri, karena ia berkaitan langsung dengan kehidupan para mad’u ( umat yang didakwahi).
Begitu pula ia harus mempelajari apa yang menjadi syarat terwujudnya kewajiban dakwah seperti wasail (sarana-sarana) dakwah. Karena betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan hasilnya adalah keburukan dan kegagalan. Bukan karena buruknya materi yang didakwahkan, melainkan karena tidak tepatnya cara dan sarana yang dipergunakan.
Kemudian kewajiban mengadakan sarana-sarana pendukung dakwah berbeda dari satu da’i ke da’i yang lain, sesuai dengan perbedaan level, tempat, jaman, mad’u dan tantangan . Yang jelas kewajiban selalu terkait dengan kemampuan, karena Allah tidak membebani seseorang diatas kemampuannya. Intinya ukuran ilmu yang fardhu ‘ain bagi para da’I adalah: segala wang wajib dikerjakan oleh seorang da’I maka wajib mempelajari ilmunya.
Kedua: Fardhu kifayah
Ini adalah bagian ilmu-ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian umat dalam kadar yang cukup. Jika sebagian umat telah mempelajarinya maka gugurlah kewajiban dari pundak umat. Hal ini mengharuskan adanya tahashshush ( spesialisasi) di bidang ilmu-ilmu syariat atau pendukungnya seperti ilmu mushthalah hadits, ilmu fiqih, ushul, tafsir, bahasa, sejarah, aqidah, dakwah dan pendidikan.
Juga, diantara target dari ilmu-ilmu yang fardhu kifayah ini adalah terealisasinya sifat ijtihad pada diri sebagian individu atau satu kelompok yang memungkinkan unktuk beristinbath demi mewujudkan maslahat dan menyempurkannya, serta menolak mafsadat ( kerusakan) dan meminimalisirnya.
Hukum mempelajari ilmu-ilmu pendukung dan menghapal al-Qur’an
Syekh Albani -Rahimahullah- berpandangan bahwa mempelajari ilmu-ilmu pendukung dan pelengkap yang sangat diperlukan oleh thalibil ilmi seperti bahasa arab adalah wajib. Adapun menghapal al-Qur’an maka ia adalah termasuk fardgu kifayah. Syekh mengatakan: “Mempelajari bahasa arab adalah perkara yang wajib sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama bahwa sebuah kewajiban yang tidak dapat tegak berdiri kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya. Dan tidak mungkin bagi thalibil ilmi untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali dengan perantaraan bahasa arab. Adapun berbicara dengan bahasa arab maka itu termasuk sesuatu yang dianjurkan karena tidak ada dalil syar’I yang mewajibkannya.”
Beliau mengatakan: “ Menghapal al-Qur’an termasuk perkara yang wajib kifa’i’ yang jika telah cukup dilakukan oleh sebagian orang maka telah gugur dari yang lain. Jadi tidak wajib atas setiap muslim untuk menghapalkan al-Qur’an, karena tidak ada dalil syar’i yang mewajibkannya.”4
Dalam hal ini Syekh Abdul Aziz as-Sadhan menyatakan: “ Menghapal al-Qur’an bagi para ulama adalah termasuk hal yang prinsip, yang menjadi pelajaran dasar bagi thalibi ilmi… Yang mengherankan adalah sebagian mereka dicela karena tidak hapal al-Qur’an. Diantara buktinya adalah apa yang disebutkan oleh ibn Hajar dalam Taqribut Tahdzib ketika menerangkan Utsam ibn Muhammad ibn Abi Syaibah, Dia mengatakan: “ Tsiqah, hafihz yang tersohor, memiliki awham (kesalahan), katanya ia tidak hapal alQuran.”5
Oleh karena itu penting bagi da’i atau thalibil iolmi untuk bergabung dalam kelompok penghapal al-Quran, meskipun tidak hapal paling tidak ia akan mendapatkan manfaat berikut:
Mendapatkan kecintaan kepada al-Qur’an
Mempererat hubungannya dengan rumah-rumah Allah
Mengisi waktu dengan sesuatu yang sangat mulia
Terwujudnya sesuatu yang dapat mengalir pahalanya kepada ornag tua, dll6.
Jenjang thalabul ilmi dan kitab-kitab yang direkomendasikan
Para masyayikh merekomendasikan untuk para pemula dalam thalabil ilmi agar mempelajari dan menghapal kitab-kitab mukhtashar dari kitab-kitab berikut:7
1Amr Abdul Mun’im Salim, al-Ushulullati Bana Alaiha Ahlul Haditsi Manhajahum fid Dakwah ilallah, Darudh Dhiya, Thantha, cet 1/1424,69-70;
2 Adz-Dzahabi, Siyar a’lamin Nubala’, 8/403.
3 Lihat: Amr Abdul Mun’im 1424/70-71; Muhammad yusri, Ma’alim fi ushulid Dakwah 44-45.
4 Amr Abdul Mun’im, al-Manhaj as-Salafi ‘inda Syekh Nashoiruddin al-Albani, maktabah adh-Dhiya’, thantha, h.204-205.
5 Abdul Aziz ibn Muhammad as-Sadhan, Ma’alim fi Thariq Thalabil Ilmi,Darul Ashimah, h. 193.
6 Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin, Kitabu lIlmi, h.289
7 Lihat Ibn Utsaimin, Kitabul ilmi, h.170-173; Amr Abdul Mun’im, Al-Manhaj as-Salafi, h.205-206; Abdul Aziz as-Sadhan, Ma’alim fi thariq thalibil ilm, h.76-79; Bakr Abu Zaid, Hilyah Thalibil ilm, h.27-29
8 Saya sedang menerjemahkan edisi terlengkap untuk pertama kalinya, dengan izin tertulis dari penelitinya Syekh Samir ibn Amin az-Zuhairi murid syekh Albani. Semoga segera terbit.
9 Alhamdulillah Kami telah menerjemahkannya dengan takhrij Syekh Albani diterbitkan oleh Duta ilmu Surabaya, dalam 2 jilid, cet. I Juli 2003.
10 Alhamdulillah saya telah menerjemahkannya dan terbit dengan judul Mewaspadai 100 Perilaku Jahiliyyah, Penerbit Elba Surabaya, cet. I September 2005.
الحمد لله… نفعنا الله بعلمه