KEYAKINAN SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI TENTANG DIMANA ALLAH

KEYAKINAN SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI TENTANG DIMANA ALLAH

Dr. KH. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag

Syekh Abdu `l-Qâdir al-Jailani (470-561 H) adalah ulama Ahlussunnah Waljamaah yang sangat terkenal dan diakui oleh seluruh ulama lintas mazhhab. Beliau adalah wali Allah. Akidahnya lurus mengikuti para ulama Ahlussunnah sebelumnya. salah satu akidah penting di dalam al-Qur`an dan Al-Sunnah serta fitrah manusia adalah mengenai keyakinan “Allah Maha Tinggi”, “Allah di atas Arsy” sesuai dengan firman-Nya dan sabda Rasul-Nya serta Ijma’ para Salaf Shalih. Maha suci Allah dari kekurangan dan dari penyerupaan dengan makhluk. Akidah ini begitu jelas dan gamblang, namun gara-gara ahli filsafat dan ahli kalam akhirnya banyak umat islam bingung, sampai menghukumi orang yang meyakini Allah ber-istiwa` di atas Arasy-Nya dengan hukum sesat bahkan kafir. Mereka bahkan menjadikan akidah “Allah di atas Arsy” ini sebagai ciri sekte sesat Musyabbihah, padahal itu adalah firman Allah yang diulang-ulang di dalam al-Qur`an sebanyak 7 kali, yang ditegaskan oleh Nabi i dan diijma’ oleh salaf shalih.

Ahlussunnah Waljamaah mengimani semua keterangan tentang Allah yang ada di dalam al-Quran dan al-Sunnah tanpa keberatan, tanpa mengingkari, tanpa, mempersoalkan hakekatnya dengan akalnya, tanpa menyerupakan dengan yang lain, sebab Allah adalah Maha Esa dan Maha Sempurna tidak ada padanan-Nya.

Berikut adalah akidah Imam kita, Syaikhul Islam Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, sekaligus akidah salaf shalih.1 Syaikh Abdul Qadir menulis di kitabnya al-Ghunyah Li Thalib al-Haqq, di bagian dua tentang Akidah, Bab “Fi Ma’rifat al-Shani’ Azza wajalla”. Di sana beliau menetapkan akidah Ahlus Sunnah dan memberikan kritikan yang tajam sekaligus nasehat terhadap ahli kalam dalam hal ta`wîl sifat yang mengingkari sifat istiwa` Allah di atas Arsy dan sebagai gantinya mengatakan “Allah di mana-mana” atau “ Allah tidak dimana-mana”, atau “Allah menguasai Arsy”. Beliau mengatakan:

أَمَّا مَعْرِفَةُ الصَّانِعِ بِالْآيَاتِ وَالدَّلَالَاتِ عَلَى وَجْهِ الْإخْتِصَارِ فَهُوَ أَنْ يُعْرَفَ وَيُتَيَقَّنَ أَنَّ اللهَ وَاحِدٌ أَحَدٌ فَرْدٌ صَمَدٌ.

Adapun mengenal Sang Pencipta berdasarkan ayat-ayat dan bukti-bukti secara singkat adalah harus diketahui dan diyakini bahwa Allah itu Esa, Satu, Tunggal dan Sempurna.”2

Hingga beliau menulis:

وَهُوَ بِجِهَةِ الْعُلُوِّ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ، مُحْتَوٍ عَلَى الْمُلْكِ، مُحِيْطٌ عِلْمُهُ بِالْأَشْيَاءِ، إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ، (فاطر: 10). يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ، (السجدة: 5).

Dia berada di arah atas, ber-istiwa’ di atas Arsy, menguasai kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesutau, kepada-Nya ucapan yang baik dan amal yang shalih naik dan diangkatnya (QS. Fathir: 10). Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. Sajdah: 5).”3

Hingga beliau menulis:

وَاللهُ تَعَالَى عَلَى الْعَرْشِ، وَدُوْنَهُ حُجُبٌ مِنْ نَارٍ وَنُوْرٍ وَظُلْمَةٍ، وَمَا هُوَ أَعْلَمُ بِهِ. وَلِلْعَرْشِ حَمَلَةٌ يَحْمِلُوْنَهُ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ (غافر: 7) وَلِلْعَرْشِ حَدٌّ يَعْلَمُهُ اللهُ.

Allâh beristiwa di atas Arsy, sebelumnya (di bawahnya) ada hijab-hijab dari api, cahaya dan kegelapan, serta apa yang Dia lebih mengetahuinya. Dan bahwa arsy itu memiliki para Malaikat yang memikulnya. Allah berfirman: Yang memikul Arsy dan malaikat yang di sekitarnya, mereka bertasbih memuji Tuhan-mereka. (QS. Ghafir: 7). Dan Arsy memiliki batasan yang diketahui oleh Allâh.” 4

Hingga beliau menulis:

وَهُوَ بَايِنٌ مِنْ خَلْقِهِ، وَلَا يَخْلُوْ عِلْمُهُ مَكَانٌ، وَلَا يَجُوْزُ وَصْفُهُ بِأَنَّهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ بَلْ يُقَالُ إِنَّهُ فِي السَّمَاءِ عَلَى الْعَرْشِ كَمَا قَالَ: {اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}.

Dia berpisah dari makhluk-Nya, dan ilmu-Nya ada dimana-mana. Dan tidak boleh mensifati-Nya bahwa Dia ada di setiap tempat, tetapi dikatakan: Dia berada di langit, di atas Arsy sebagaimana Dia berfirman: ‘Allah yang Maha Rahman ber-istiwa` di atas Arsy.”5

Beliau lalu menyebut beberapa ayat dan hadits termasuk hadits yang Nabi menghukumi keislaman budak wanita dengan bertanya kepadanya: Dimana Allah? dan dia menjawab dengan menunjuk ke langit (ke atas). Hingga beliau berkata:

وَيَنْبَغِيْ إِطْلَاقُ صِفَةِ الإسْتِوَاءِ مِنْ غَيْرِ تَأْوِيْلٍ وَإِنَّهُ اسْتِوَاءُ الذَّاتِ عَلَى الْعَرْشِ، لَا عَلَى مَعْنَى الْقُعُوْدِ وَالْمُمَاسَّةِ …. وَلَا عَلَى مَعْنَى الْعُلُوِّ وَالرِّفْعَةِ ….، وَلَا عَلَى مَعْنَى الْاسْتِلَاءِ وَالْغَلَبَةِ ….، لِأَنَّ الشَّرْعَ لَمْ يَرِدْ بِذَلِكَ، وَلَا نُقِلَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ، بَلِ الْمَنْقُوْلُ عَنْهُمْ حَمْلُهُ عَلَى الْإِطْلَاقِ.

Seyogjanya sifat istiwa` disebutkan secara lepas tanpa ta`wil. Bahwasanya ia adalah istiwa’nya Dzat di atas Arsy, bukan bermakna duduk dan bersentuhan (menempel …, juga bukan dalam arti ketinggian (kedudukan)…, juga bukan dalam arti beristila (menguasai) . Sebab Syariat tidak menerangkan begitu, juga tidak dikutip dari seorangpun dari Sahabat, Tabi’in, dari Salaf Shalih dari para ahli hadits. Tetapi yang diriwayatkan dari mereka adalah melepaskannya.”6

Hingga beliau berkata:

وكَوْنُهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْعَرْشِ مَذْكُوْرًا فِي كُلِّ كِتَابٍ أُنْزِلَ عَلَى كُلِّ نَبِيٍّ أثرْسِلَ بِلَا كَيْفَ

Keberadaan Allah di atas Arsy, disebutkan dalam setiap kitab yang diturunkan oleh Allah kepada setiap Nabi yang diutus, tanpa dipersoalkan hakikatnya (bagaimananya).”7 Lalu beliau menyebut banyak penjelasan tentang sifat Allah, termasuk mengatakan:

Kita tidak boleh keluar dari al-Qur`an dan al-Sunnah. Kita membaca ayat dan hadits, kita mengimani apa yang dikandungnya, dan kita menyerahkan kaifiyah sifat-sifat itu kepada ilmu Allah. sebagaimana Sufyan ibn Uyainah berkata: “sebagaimana Allah mensifati diri-Nya dalam kitab-Nya.”8

 Sementara di dalam kitabnya al-Fathu al-Rabbani, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berwasiat:

Kalian wajib ber-ittiba(mengikuti Sunnah) dan jauhilah ibtida(mengada-ada apa yang tidak ada dalam Sunnah). Kalian wajib ikut madzhab salafu `s-shâlih. Berjalanlah di atas jalan yang lurus, tanpa tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan ta’thîl (tanpa menolak ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah). Akan tetapi mengikut sunnah Rasûlullâhtanpa takalluf (memaksa-maksa), tanaththu (berlebihan), tasyaddud (sikap ekstrim, keras), tamasyduq (berlebihan dalam bicara), dan  tama’qul (mengakali). Cukup untuk kalian apa yang telah cukup untuk orang-orang sebelum kalian.”9

 Di tempat lain beliau berkata:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Al-Syura: 11)”

Nafikan kemudian tetapkan. Nafikan apa yang tidak layak bagi Allâh dan tetapkan apa yang layak bagi Allâh; yaitu apa yang Dia telah merelakan untuk diri-Nya sendiri dan telah direlakan oleh Rasûl-Nya . Jika kalian melakukan yang demikian maka hilanglah tasybîh dan ta’thîl dari hati kalian.”10

“Celaka kamu wahai orang-orang yang sombong! Ibadahmu tidak masuk bumi melainkan naik ke langit. Allah berfirman:   

إِلَيْهِ يَصْعَ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ۚ

“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik] dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Tuhan kita bersemayam diatas Arsy, menguasai seluruh kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan menciptakan segala sesuatu. Tujuh ayat di dalam al-Qur`an menyatakan tentang makna ini, tidak mungkin aku menghapusnya karena kebodohanmu dan ru’unahmu (hawa nafsumu). Kamu menakutiku dengan pedangmu aku tidak takut, kamu mengiming-iming aku dengan hartamu aku tidak berminat. Sesungguhnya aku hanya takut pada Allah tidak takut pada selain-Nya, aku berharap kepada-Nya tidak berharap kepada selain-Nya. Aku menyembah-Nya dan aku tidak menyembah selain-Nya. Aku beramal untuk-Nya tidak beramal untuk selain-Nya. Rizkiku ada pada-Nya dan ditangan-Nya. Semua hamba dan yang dimilikinya adalah milik tuannya.”11

Tidakkah kalian merasa malu?! Allâh menerangkan sifat-sifat-Nya sendiri dengan sifat-sifat yang Dia rela dengannya kemudian kalian ta`wîl dan kalian tolak?!! Tidakkah mencukupimu apa yang telah mencukupi para sahabat dan tabi’în sebelum kalian?!! Rabb kita berada di atas Arsy sebagaimana Dia katakan, tanpa tasybîh (menyerupakan Allah dengan yang lain), tanpa ta’thîl (mengingkari maknanya) dan tanpa tajsim (meyakini Allah berjisim/jasad).

Ya Allâh berilah kami rizki dan taufiq dan jauhkan kami dari bid’ah. Ya Tuhan kami berilah kami kebaikan di dunia  dan berilah kami kebaikan di akhirat dan jauhkan kami dari api neraka.”12

Akhirnya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berwasiat:

Maka kewajiban orang mukmin adalah mengikuti Sunnah dan Jama’ah. Sunnah adalah apa yang disunnahkan oleh Rasulullah i , sedangkan Jama’ah adalah apa yang disepakati oleh para sahabat Rasulullah i dalam masa pemerintahan Khulafa’ Rasyidin al-Mahdiyyin yang empat. Semoga Allah merahmati mereka semua.”13

Semoga makalah ini bermanfaat, dan semoga kita bisa mengikuti aqidah dan wasiat Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan mendapatkan Syafa’atnya. Aamiin. [*]

1 Asalnya makalah ini dikutip dari buku Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi.

2 ‘Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyah Li Thâlibi `l-Haq, footnote: Abu Abdirrahman Shalah ibn Muhammad ‘Awaidhah, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2015, 1/121.

3 Ibid.

4 Ibid. 1/123

5 Ibid. 1/124

6 Ibid.

7Ibid 1/ 125

8 Ibid. 1/125.

9 Abdul Qadir al-Jailani, al-Fathu `r-Rabbâni wa `l-Faidhu `r-Rahmâni, al-Haramaîn Singapura-Jedah, 34 (kitab kuning).

10 Ibid, 61.

11 Ibid, 115

12 Ibid, 61.

13 Al-Ghunyah, 1/165.

Makalah ini ditulis tahun 2009 dan dimuraja’ah serta diedit pada 2 Agustus 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *