Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Oleh: Al-Ustadz DR. Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag.
Tiap tahun selalu ada perselisihan atau bahkan perdebatan soal kulit hewan kurban. Setiap tahun pula kami ditanya tentang hal tersebut oleh para santri yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Maka sebagai pertimbangan atau bahkan pegangan bagi mereka dan bagi panitia penyembelihan hewan kurban kami tulis makalah ini.
Pertama: Persoalan ini pernah diajukan kepada Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syaikh Abdul Aziz Bin Bazzrahimahullah[1].
Pertanyaan datang dari Malaysia pada tanggal 10/11/1413 H tentang bolehnya para mudhahhi(orang yang berkurban) menghibahkan atau menyedekahkan atau menghadiahkan kulit hewan kurbannya ke panitia kurban atau lembaga sosial agar mengurusi pemanfatan kulit, maksud saya tentang pemanfatan uang hasil penjualan kulit kurban ke pedagang kulit yang muslim, semisal untuk mendirikan teras mushalla atau bangunan masjid atau sekolah al-Qur`an atau TK Islam atau untuk pembayaran gaji marbot masjid atau untuk membeli karpet atau alat-alat kebersihan masjid atau pemagaran makam Islam atau untuk kepentingan lain yang kembali kemanfatannya kepada umat Islam di daerah orang-orang yang berkurban tersebut.
Maka Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut:
عضو |
عضو |
عضو |
عضو |
نائب الرئيس |
الرئيس |
بكر أبو زيد |
عبد العزيز آل الشيخ |
صالح الفوزان |
عبد الله بن غديان |
عبد الرزاق عفيفي |
عبد العزيز بن عبد الله بن باز |
“Setelah Lajnah mempelajari persoalan yang dimintakan fatwanya maka lajnah menjawab bahwa kulit hewan kurban untuk orang fakir, atau wakilnya, maka tidak ada halangan untuk menjualnya dan pemanfaatan uangnya oleh si fakir, sesungguhnya yang dilarang menjualnya hanyalahmudhahhi (yang berkurban) saja. Begitu pula tidak ada halangan bagi jam’iyyah khairiyyah (lembaga sosial) untuk menjual kulit hewan kurban yang mereka miliki dan membelanjakan uangnya untuk kepentingan para fakir.
Wabillahi at-Taufiq. Semoga shalawat dan salam untuk Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alayhi wa sallam.
Lajnah Daimah untuk Riset ilmiah dan fatwa
Ketua:
Syaikh Abdul Aziz ibn Baz
Wakil ketua:
Abdurrazzaq afifi
Anggota:
Abdullah ibn Ghudayyan
Shalih al-Fauzan
Abdul Aziz Alu as-Syaikh
Bakr Abu Zaid
Kedua : Persoalan ini pernah diajukan kepada Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid oleh seseorang dari Al-Jazair. Berikut pertanyaan dan jawabannya;
Pertanyaan:
“Takmir-takmir masjid di tempat kami di al-Jazair mengumpulkan kulit-kulit hewan kurban dan menjualnya ke perusahaan pengeloaan kulit, lalu menyalurkan uang hasil penjualannya untuk membangun masjid. Mereka beralasan bahwa banyak manusia hari ini tidak membutuhkannya. Mereka membuangnya. Maka apakah perbuatan (para takmir) ini boleh? Dan apakah boleh bagi seseorang memberikan kulit kurban kepada mereka jika mereka mendatangi rumahnya, sementara dia telah mengetahui sebelumnya bahwa mereka akan menjual kulitnya?
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafizhahullah menjawab (Fatwa no: 110.665)[2]:
Segala puji bagi Allah:
Pertama:
Tidak boleh bagi orang yang berkurban untuk menjual kulit hewan kurbannya, karena dengan disembelih maka hewan itu menjadi milik Allah dengan segala bagiannya, maka apa yang telah tertentu menjadi milik Allah tidak boleh ditukar. Oleh karena itu tidak boleh diberikan kepada penyembelih sedikitpun sebagai upah.
Bukhari dan muslim telah meriwayatkan -dan lafazh milik Muslim- dari Ali radliyallohu ‘anhu, dia berkata: “Saya diperintah oleh Nabi Shalallahu’alayhi wasallam untuk menyembelih untanya dan membagi daging dan kulitnya serta kain pembungkusnya[3], dan agar saya tidak memberikan sedikit pun pada jagalnya.” Dia berkata: “Kami akan memberinya dari sisi kami.”
Berkata dalam Zadul Mustaqni’: “Dia tidak boleh menjual kulitnya, dan apapun darinya, tetapi ia memanfatkannya.[4]“
Syaikh Utsaimin dalam syarahnya (Syarhul Mumti’, 7/514) berkata: Ucapannya “tidak boleh menjual kulitnya” setelah disembelih, karena secara pasti ia adalah milik Allah ‘azza wa jalla dengan segala bagiannya, dan apa yang pasti milik Allah maka tidak boleh ditukar. Dalilnya adalah hadits Umarradliyallohu ‘anhu bahwa dia menaikkan (orang lain) di atas kuda miliknya, maksudnya dia memberikan seseorang kuda untuk bejihad di atasnya, akan tetapi orang itu menyia-nyiakan kuda itu dan tidak perhatian dengannya, maka Umar datang kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallammeminta izin untuk membelinya darinya, yang mana ia menyangka bahwa pemiliknya akan menjualnya dengan harga murah. Maka Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Jangan membelinya meskipun ia menjualnya dengan satu dirham.”
Alasannya adalah karena ia telah menginfakkannya karena Allah maka tidak boleh menariknya kembali, oleh karena itu tidak boleh orang yang berhijrah dari negeri syirik kembali ke kampungnya untuk tinggal di sana, karena ia telah keluar karena Allah dari negeri yang dia cintai, maka tidak boleh kembali kepada apa yang dia cintai jika ia meninggalkannya karena Allah, sebab kulit adalah bagian dari hewan yang dilalui oleh kehidupan seperti daging (artinya tidak boleh ia menjual sebagaimana ia tidak boleh menjual daging).
Ucapannya: “Tidak sesuatupun dari padanya” maksudnya ia tidak boleh menjual sesuatu dari bagian-bagiannya, seperti limpa, kaki (kikil), kepala, rumen (satu dari empat ruang yang ada dalam lambung yaitu: Rumen, Retikulum, Omasum dan Abomasum, dalam bahasa Jawa disebut “kebuk/babad” atau yang sejenis dengan itu. Alasannya adalah apa yang telah lalu.”
Rumen |
Retikulum |
Omasum |
Dengan demikian maka diketahui bahwa yang disyariatkan adalah memanfatkan kulit atau menyedekahkannya pada orang yang berhak menerima dari orang fakir atau miskin.
Seandainya orang yang berkurban itu menyedekahkan kulit pada orang fakir, lalu si fakir itu menjualnya maka tidak ada masalah bagi keduanya.
Syaikh Muhammad Mukhtar as-Shinqithi hafizhahullah berkata: “Adapun jika ada perusahaan yang membeli kulit di tempat pengulitan, dan diberikannya (kulit itu) kepada orang fakir kemudian si fakir pergi dan menjualnya kepada perusahaan ini atau kepada yayasan ini maka tidak masalah.” Selesai dari kitab Syarah Zadul Mustaqni’
Kedua:
Adapun menjual kulit dan menyedekahkan uangnya maka para ulama berselisih: di antara mereka ada yang membolehkannya, yaitu madzhab Hanafi dan riwayat dari Ahmad, sementara jumhur melarangnya.
Dalam kitab Tabyinul Haqaiq (6/9): “Kalau dia menjualnya dengan beberapa dirham untuk disedekahkan uangnya maka boleh, karena ia juga qurbah (pendekatan diri pada Allah) seperti kalau bersedekah dengan kulit dan daging.”
Ibnul Qayyim dalam Tuhfatul Mawdud Biahkamil Mawlud (h. 89) berkata: Abu Abdillah Ibn Hamdan dalam ri’ayahnya berkata: “Dan boleh menjual kulitnya, sawaqithnya (hati, paru, jantung, otak dan limpa), kepalanya dan menyedekahkan uangnya. Ini dinyatakan oleh Imam Ahmad…”
Al-Khallal berkata: Saya diberitahu oleh Abdul Malik Ibn Abdil Humaid bahwa Abu Abdillah (maksudnya Imam Ahmad) berkata: “Ibnu Umar menjual kulit sapi dan bersedekah dengan uangnya.”
Ishaq ibn Manshur berkata: Saya katakan kepada Abu Abdillah: “Kulit-kulit kurban itu diapakan?” Dia berkata: “Dimanfaatkan dan disedekahkan harganya.” Saya katakan: “Dijual dan disedekahkan harganya?” Dia berkata: “ya.” (hadits Ibnu Umar[5]. Selesai. Bisa dilihat di al-Inshaf, 4/93)
As-Syaukani dalam Nailul Authar (5/153) berkata: “Mereka bersepakat bahwa dagingnya tidak dijual, begitu pula kulitnya, dan dibolehkan oleh al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan itu satu wajah bagi ulama Syafi’iyyah. Mereka berkata: dan dibelanjakan harganya (uang hasil penjualannya) sebagaimana hewan qurban dibelanjakan.” Selesai
Atas dasar ini maka tidak mengapa memberikan kulit kepada lembaga sosial yang mengurusi penjualannya dan menyedekahkan hasil penjualannya. Ini termasuk proyek yang bermanfaat, karena kebanyakan manusia tidak memanfaatkan kulit kurban, maka menjual kulit hewan kurban dan menyedekahkan harganya bisa mewujudkan bagi kemaslahatan yang dimaksud, yaitu memberi manfaat pada fuqara, bersamaan dengan selamatnya dari larangan, yaitu larangan orang yang berkorban menukarnya dengan sesuatu.
Perlu diperhatikan: bahwa sebagian hewan kurban itu boleh diberikan kepada orang-orang kaya dalam bentuk hadiah. Kalau dia berniat memberikan kulit sebagai hadiah bagi lembaga sosial yang bertugas mengumpulkannya maka tidak masalah, kemudian jam’iyyah itu yang menjual dan bersedekah dengan uangnya dalam proyek-proyek yang dia inginkan. Wallahu a’lam.
Ketiga: Ada beberapa fatwa ahli ilmu lain tentang yang dibolehkan dalam menjual kulit hewan kurban:
“Menurut saya, para pengurus kulit hewan kurban di beberapa masjid ini mengambil pernyataan perwakilan dari sejumlah fuqara` lengkap dengan nama dan orangnya, bahwa mereka akan mewakili mereka menerima kulit kurban dan menjualnya sebagai wakil mereka dan memberikan harganya kepada mereka, kemudian memberikan kepada orang-orang fakir yang telah tertentu tadi bukan yang lain.”[7]
Syaikh Abdurrahman shabir membolehkan menjual kulit hewan kurban sebagai wakil dari si fakir, bahkan boleh tanpa izinnya berdasarkan ridha ‘urfi sebagai ganti ridha lafzhi. Tetapi beliau tidak membolehkan diwakafkan untuk masjid yang akhirnya tidak termanfaatkan atau terus dijual. Terakhir dia berkata[8]:
Syaikh ‘Ajlan mendukung apa yang difatwakan oleh Syaikh Shalih al-Munajjid tentang bolehnya uang hasil menjual kulit hewan kurban untuk amal-amal sosial.
Saat ditanya apa hukum menjual kulit hewan kurban dan menyedekahkan uangnya untuk fakir miskin atau untuk proyek islami semisal pemangunan masjid atau renofasinya?
Beliau menjawab:
“Boleh menjual kulit hewan kurban untuk disedekahkan uangnya atau diletakkan di amal sosial.”[9]
“Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu[10] dan sembelian udh-hiyah (qurban).Tetapi makanlah, bershodaqohlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu menjualnya.” Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah). (HR. Ahmad no. 16256, 4/15. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if (lemah). Ibnu Juraij yaitu ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz adalah seorang mudallis. Zubaid, yaitu Ibnul Harits Al-Yamiy sering meriwayatkan dengan mu’an’an. Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat. Sehingga hadits ini dihukumi munqothi’ (sanadnya terputus)).
Syaikh Abdurrahman Shabir berkata: Yang shahih dari riwayat Qatadah adalah sabda Nabi saw:
“Makanlah daging-daging hewan kurban dan simpanlah.” (HR. Ahmad 11499 dan 16213 dengan sanad shahih.”[11]
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya.”( HR. Al-Hakim (2/389-390) dan Baihaqi (9/294).)
Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Ibnu ‘Ayas yang didho’ifkan oleh Abu Daud.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1088.
Sementara itu Syaikh Abul Hasan al-Ma`ribi mendhaifkannya, dia berkata: “Dalam sanadnya ada Abdullah ibn Ayyasy al-Qatbani, ia shaduq yaghlath (jujur tapi melakukan kesalahan fatal) maka tidak bisa jadi hujjah.”[12]
Abdurrahman Shabir berkata: Ibnu Ayyas didhaifkan Nasa`i, –dia termasuk ulama yang mengerti tentang para perawi Mesir karena persinggahannya di sana beberapa tahun- Abu Daud dan sejumlah ulama. Bahkan al-Hafizh ibn Yunus penulis kitab Tarikh al-Mishriyyin, yaitu orang yang paling mengerti tentang para perawi mereka mengatakan: “Dia munkarul hadits…… maka isnad seperti ini tidak bisa untuk hujjah.”[13] [*]
Wallahu a’lam
Malang, Rabu, 7 Dzulqaidah 1432 H/ 4 Oktober 2011.
***
[1] http://www.alifta.com/Fatawa/Fatwaprint.aspx?id=14325&BookID=3§ionid=
[2] http://www.islamqa.com/ar/ref/110665
[3] Syekh Athiyyah Muhammad Salim dalam Syarah Bulughul Maram berkata:
“Jilal adalah kain yang mereka gunakan untuk membungkus al-Hadyu (hewan hadiah untuk penduduk Makkah yang dituntun oleh jamaah haji). Maksud mereka membungkusnya dengan niat taqarrub kepada Allah. Bila mereka telah keluar dari Madina mereka menutupinya dengan kain-kain ini sebagai perhiasan. Jika mereka telah keluar dari kota Madinah dan pinggira-pinggirannya mereka mengumpulkan kain-kain ini dan menyimpannya hingga tidak diganggu atau robek. Jika mereka telah tiba di Makkah mereka memakaikan lagi kain-kain itu. Ketika mereka mendatangi penyembelihan mereka mengambilnya lagi agar tidak terkotori oleh darah, kemudian mereka menyedekahkannya. Dulu mereka mengumpulkanm kain-kain itu lalu mereka membuat kain kiswah(penutup ka’bah) dari kain-kain itu, dan jika ada yang membuat kiswah dari uangnya sendiri maka kain-kain itu menjadi sedekah. Jadi mereka mensedekahkan apapun hingga kulit.”
[4] Madzhab jumhur ini diikuti oleh beberapa ulama seperti: Prof. Dr. Ahmad al-Hija al-Kurdi(Kuwait), lihat di http://www.islamic-fatwa.net/fatawa/index.php?module=fatwa&id=9386; Syaikh Zaid al-Madkhali. Saat beliau ditanya oleh penanya dari Libia: kebiasaan di negeri kami adalah bersedekah dengan kulit hewan kurban ke masjid-masjid, dan takmir masjid telah mengabarkan kepada orang yang berkurban bahwa kulit akan dijual untuk kepentingan masjid. Maka beliau menjawab: “Kulit hewan kurban adakalanya dimanfaatkan sendiri oleh orang yang berkurban sebagaimana daging, atau adakalanya dia sedekahkan ke fakir miskin, tidak menjualnya dan tidak memberikan pada pihak yang menjjualnya, tetapi memberikannya kepada fakir miskin agar mereka memanfatkannya, kalau dia sendiri yang memanfatkan maka tidak masalah. Ini adalah pendapat yang kuat dalam masalah ini.” Degarkan jawabannya di http://www.plunder.com/-download-53bfada7a7.htm; http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=15792&goto=nextoldest.
Juga Syekh Muhammad Ali Farkous (Al-Jazair), beliau berkata: “Jika menjual kulit hewan kurban itu terlarang maka menjualnya untuk pembangunan masjid juga terlarang.” Lihat fatwanya di:
http://www.ferkous.com/rep/Bi11.php atau di:http://pengusahamuslim.com/baca/artikel/1288/kulit-hewan-kurban-untuk-pembangunan-masjid
Ibnu Umar, dia menjual kulit dan bersedekah dengan uang hasil jualannya. Sementara Hasan Bashri, Ibrahim an-Nakha`i dan al-Auza’i membolehkan untuk dijual kulitnya dan dibelikan ayakan, saringan dan peralatan rumah lainnya karena ia dan yang lainnya memanfatkannya maka ia berlaku seperti daging.”
Abdurrahman Shabir berkata:
“Adapun atsar ibn Umar yang diisyaratkan oleh ibnul Mundzir maka Ibnu Hazm telah mengatakan dalam al-Muhalla: dan kami meriwayatkan dari Syu’bah dari Qatadah dari Uqbah ibn Shaban, saya berkata kepada Ibn Umar: saya boleh menjual kulit sapi yang aku berkurban dengannya? Maka beliau membolehkan untuk saya. Ini adalah sanad yang shahih tanpa illat.”
http://www.salafvoice.com/article.php?a=4904
Imam Atha’ membolehkan menjual kulit kurban sebagaimana dalam kitab al-Muhala.
[6] http://forums.way2allah.com/showthread.php?t=106137
http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=lecview&sid=1142
[7] Lihat di http://www.anasalafy.com/play.php?catsmktba=20884
[8] http://www.salafvoice.com/article.php?a=4904
[9] http://ejabh.m5zn.com/arabic_article_95361.html
[10] Hadyu adalah binatang ternak (unta, sapi atau kambing) yang disembelih oleh orang yang berhaji dan dihadiahkan kepada orang-orang miskin di Mekkah.
[11] http://www.salafvoice.com/article.php?a=4904
[12] http://forums.way2allah.com/showthread.php?t=106137
[13] http://www.salafvoice.com/article.php?a=4904