Salah satu hikmah masa karantina ponpes Al Umm Malang guna mencegah penyebaran covid-19 saya bisa fokus memindahkan kitab, membersihkan, memilah milah dan menata. Cukup banyak kitab, buku, majalah yang saya koleksi dari tahun 1984 hingga sekarang 2020 (36 tahun), insyaAllah ribuan judul kitab.
Ini adalah kepindahan ke-9 insyaAllah terakhir biidznillah.
Setiap pindah selalu ada saja yang dimakan rayap dan kita musnahkan karena sudah tidak layak.
Salah satu koleksi kitab kuning adalah warisan Ayahanda tercinta Bapak Muhammad Qomari ibn Abdul Ghani bin Sanu ( lahir 1927- wafat Kamis 9 Syawal 1429/ 9 Oktober 2008), hasil beliau menjadi santri di pondok Pesantren Bungkuk Singosari sekitar tahun 1945 M. Rahimahullah rahmatan wasi’ah.
Banyak kitab beliau yang sudah kami bakar karena dimakan rayap, sejak di desa kabunan. Maklum penyimpanan kurang bagus.
Banyak juga kisah kisah beliau di pesantren dan kisah perjuangan dengan Sabilillah dan Hizbullah beliau ceritakan. Tapi semua itu tidak kami catat.
Saat memindah kitab dan membersihkannya satu persatu, yang sudah berjalan 2 pekan ini tidak selesai-selesai, saya tertegun dengan beberapa kitab ayah yang masih utuh dan saya simpan, yaitu kitab:
1. Kitab Tafsir Surat Yasin karya Syaikh Hamami Zadah rahimahullah.
Disitu ada setempel pesantren dan tulisan ayah:
محمد قمري كارنغصانا سوكرجا باغيل
2. Hasyiyah Syaikh Ibrohim Baijuri rahimahullah
Ada stempel pesantren.
3. Hasyiyah Abil Barakat Ahmad Dardir rahomahullah.
Ada stempel pesantren.
Ada tulisan Komari karangsono sukorejo Bangil
قمري سوكارجا كرغصنا باغيل
4. Kitan Minhajul Abidin karya Imam Ghazali rahimahullah.
Ada tulisan:
Ada stempel pesantren
Ada tandatangan
Ada tanggal 8-4-45 (ahad 25 Rabbi’ul Tsani 1364 H)
Ada tulisan
محمد قمري كرانغصنا سوكورجا باغيل
Pondok Bungkuk Singosari:
PesantrenBungkuk adalah Pesantren besar pada sekitar tahun 1923 terletak di Singosari.
Pondok pesantren ini didirikan dengan gotong royong bersama para santri diatas tanah usaha Kyai Hamimuddin sendiri. Beliau KH. Hamimuddin (Kakek KH.Nachrowi Thohir) merintis pondok tersebut sejak tahun 1785, Dimana asrama (pondok) parasantri masih terdiri dari rumah panggung yang terbuat dari bambu, atapnya juga bambu karena saat itu masih belum ada genteng. Pesantren ini semakin berkembang di bawah
kepemimpinan KH. Muhammad Thohir dari Bangil, menantu KH. Hamimudin.
Pada kepemimpinan KH. Muhammad Thohir ( 1850-1933 M ), santri yang tinggal di pesantren
tersebut sudah cukup banyak dan berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, termasuk Madura.
Setiap kamar dihuni oleh 4-6 santri, mereka disana tidak membayar tetapi cukup membantu Kiai mengolah tanah. Materi-materi yang diajarkan di pesantren ini standar seperti pada pesantren lainnya, yaitu mengkaji kitab kuning, tauhid, fiqih, akhlak, tafsir dan khususnya belajar Al Quran.
Perlu diketahui Bapak Muhammad Qomari termasuk qori’ dengan suara merdu.
Bapak Qomari nyantri setelah kedua tokoh pendiri itu tiada.
Dimasa banyak nyantri ada 2 tokoh dari Bungkuk:
1. KH. Nachrowi Tohir. (1900-1980)
Lahir di Bungkuk, Singosari, Malang pada tahun 13417 H/ 1900 M. Putra
bungsu KH. Muhammad Thohir, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Falah,Bungkuk, yang dikenal sebagai Waliyullah berasal dari Bangil. Ibunya bernama Hj.Murtosiyah binti KH. Chamimuddin (Mbah Chamimuddin) , seorang mantan laskar Pangeran Diponegoro yang tersisa dan lari ke daerah Malang utara (Singosari dan sekitarnya). Perang Diponegoro antara tahun 1825 sampai 1830 memang membuatlaskar Pangeran Diponegoro tercerai-berai seiring kematian Pangeran Diponegoro.
KH.Nachrowi Thohir wafat pada 29 Rabiul Akhir 1400 H / 13 Maret 1980M, dimakamkan di pemakaman Bungkuk, Singosari, dalam usia 80 tahun.
2. KH Masykur (Pahlawan Nasional) (1900/1904-1992)
KH Masykur lahir di Singosari pada tahun 30 Desember 1900 M dan ada yang menyebut tahun 1902, ada juga 1904. Pada usia sembilan tahun, diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji. Sekembali dari Makkah-Madinah, ia disekolahkan di Pondok Pesantren Bungkuk, pimpinan KH. Thahir.
Kiai Masykur menikah pada 1923, dengan cucu KH. Tahir, gurunya di pesantren Bungkuk, Malang.
KH. Masykur tercatat selaku pendiri Pembela Tanah Air (Peta) (yang kemudian menjadi unsur laskar rakyat dan TNI) di seluruh Jawa. Ketika pertempuran 10 November 1945, namanya muncul sebagai pemimpin Barisan Sabilillah, yaitu sebuah pergerakan militer dalam melawan kolonial Belanda yang beranggotakan kiai-kiai muda. KH. Masykur adalah pendiri sekaligus sebagai Panglima Barisan Sabilillah yang memiliki divisi di 14 provinsi.. Beliau juga pernah bertempur secara gerilya di bawah komando Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Pada November 1947 beliau di panggil ke ibu kota negara pada saat itu Yogyakarta oleh presiden Ir. Soekarno. Bung Karno menawari posisi sebagai menteri agama, yang ia terima di masa Kabinet Amir Syarifuddin ke-2. Sejak saat itu, KH. Masykur pindah dari Singosari untuk menetap di Yogyakarta. Beliau menjadi menteri agama ke-5.
Lalu pada tahun 1952, KH. Masykur dipilih sebagai ketua Dewan Presidium Pengurus Besar NU. Beliau kemudian ditetapkan sebagai ketua umum tanfiziyah PBNU.
Karya terakhir yang dirintisnya adalah mendirikan Universitas Islam Sunan Giri Malang (Unisma)
Pada 19 Desember 1992, KH. Masykur, salah satu ulama besar, tokoh perjuangan, dan cendikiawan Muslim Indonesia ini berpulang ke pangkuan Yang Mahakuasa. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga pondok Bungkuk, Singosari.
Bapak Muhammad Qomari sering bercerita kepada saya tentang sabilillah, hizbillah dan juga nama nama guru2nya termasuk Kyai Maksum dan Kyai Nachrowi Thohir. Namun saya tidak tahu Kyai Maksum yang mana yang beliau maksud (karena ada H. Maksum ayah dari dari KH. Masykur yang wafat 1923).
Walhasil seingat saya bapak cerita begini:
Aku sering silaturrahim ke kyai.
Termasuk saat beliau mengurung diri di dalam rumahnya karena tidak ridho pesantren dirubah jadi sekolah atau diberi bantuan pemerintah yang mengubah kurikulum. Saat saya berkunjung, banyak orang ngantri, tapi ketika aku datang beliau mengizinkan aku, tanya sebentar berapa anakku lalu mempersilahkan pamit dengan mendoakan aku dengan mengatakan “selamat selamat”.
Saya lupa siapa nama Kyai beliau itu.
Rahimahullah rahmatan wasi’ah.
NB.
Alhamdulillah pada hari selasa pagi 8 December 2020 saya berkunjung ke rumah pak Hasan Babatan Bakalan Purwosari lalu diajak ke rumah kakak iparnya, disana ketemu mertuanya yang sudah sepuh tapi masih sehat.
Beliau nernama Muhammad Syirri, ternyata beliau kelahiran tahuan 1935an. Murid yai Nawawi (kakak yai Nakhrowi) bin KH Thohir di ponpes Bungkuk. Setelah itu beliau berguru pada KH Bashori Aluwi. Berarti beliau adik kelasnya bapak Qomari.
Beliau menuturkan bahwa yai yang uzlah itu nernama Yai Makshum menantu KH Anwar, KH Anwar menantu KH Thohir.
Sebab Yai Makshum Uzlah mengurung diri dalam rumah karena pondok dibangun dg Dana dari pemerintah oleh KH Nakhrowi (pengurus Haji) tanpa rembugan dengan Yai Makshum. Rahimahumullah. (Foto Pak Muhammad Sirri berbaju putih paling akhir)
Makam ayah saya Bapak Muhammad Qomari di pemakaman Keluarga bukit Plipir dusun Kabunan Kelurahan Kepulungan Gempol.
Karena ini sudah panjang dan saya harus melanjutkan merapikan kitab maka sampai disini dulu nanti kita lanjut insyaAllah.
رحم الله والدنا ووالدتنا ووالدين جميعا اللهم آمين